Kumpulan dongeng dan legenda
Daftar isi :
Malin Kundang~Asal Mula Nama Kota Balikpapan~Rusa Dan Anjing~Rusa Dan Anjing~Legenda Rawa Pening~Dongeng Asal Mula Dua belas Shio Binatang~Si Kancil Dan Siput~Puteri Tidur~Ucapan Ajaib Dari Peri~Cinderela~Aladin Dan Lampu Ajaib~Jack Dan Pohon Kacang~Alibaba Dan Penyamun~Asal Mula Guntur~Raja Telinga Keledai~Anak Katak Yang Sombong Dan Anak Lembu~Nyamuk Pertama~Pulau Kakak-Beradik~Pulau Hantu~Saudagar Jerami~Bukit Merah~Asal Nama Singapura~Emas Dan Batu~Rajawali Yang Cerdik~Asal Mula Rumah Siput~Si Monyet Dan Si Kura-Kura~Timun Mas~Keong Mas~Legenda Danau Toba~Legenda Sangkuriang~Cindelaras~Bawang Merah Dan Bawang Putih~Si Pitung~Legenda Roro Jonggrang~Legenda Harimau Makan Durian~Raja Yang Bodoh~Raksasa Yang Egois~Kucing Yang Terlupakan~Peri Dan Hutan Berkabut~Istana Bunga~Biji-Biji Burung Gereja~Petani Yang Baik Hati
Si Monyet dan Si Kura-kura
Dahulu, hiduplah seekor monyet dan kura-kura. Mereka adalah sahabat yang
akrab. Tak pernah terpisahkan oleh jarak dan waktu. Setiap pagi, mereka selalu
jalan bersama, makan bersama, semua selalu bersama.
Suatu hari, mereka menemukan beberapa biji pisang. "Hei, Ra. Gimana kalau kita tanam biji pisang ini? Siapa tahu
berbuah," kata monyet. "Ya, ya. Ayo kita tanam biji pisang ini," kata kura-kura
semangat. Mereka pun
kembali ke rumah mereka masing-masing. Di rumah monyet, ia menanam biji pisang itu di halaman rumahnya. Tapi,
monyet tidak rajin merawatnya. Terkadang seminggu sekali. Bahkan pernah dalam
seminggu tidak dirawat sedikitpun. Maka, pohon pisang monyet masih kecil
sekali. Sementara
itu, kura-kura menanam pohon pisang itu dengan rajin. Dia selalu menyiramnya
setiap hari. Akhirnya pohon pisang kura-kura sudah besar dan berbuah.
Suatu hari, monyet pergi ke rumah kura-kura. Dilihatnya pisang yang sudah
besar dan matang. Kebetulan juga kura-kura meminta tolong pada monyet. "Sahabat baikku, maukah kau petikkan untukku pisang itu? Tenang saja,
kau juga akan kubagi," kata kura-kura. Dalam hati monyet, monyet senang. Tapi, ada suatu niat jahat. Dia akan
memanjat pohon lalu memakan semua pisang kura-kura tanpa memberinya.
"Baiklah,
aku akan mengambilnya," kata monyet.
Monyet lalu memanjat pohon itu. Begitu sampai di atas, monyet langsung
memakan pisang yang ada di pohon itu. Kura-kura kaget dan marah. "Hei sahabatku! Mengapa kau makan pisangku?!" tanya kura-kura
marah. Si monyet tak
menghiraukannya lagi. Dimakannya semua pisang itu sampai kenyang. Tapi salah
satu dari dahan pisang itu retak. Akhirnya dahan itu jatuh bersama monyet. Si
monyet itu pun meringis kesakitan. Tulang punggungnya patah.
Asal Mula Rumah Siput
Dahulu kala, siput tidak membawa rumahnya kemana-mana… Pertama kali siput
tinggal di sarang burung yang sudah ditinggalkan induk burung di atas pohon .
Malam terasa hangat dan siang terasa sejuk karena daun-daun pohon
merintangi sinar matahari yang jatuh tepat ke sarang tempat siput tinggal.
Tetapi ketika musim Hujan datang, daun-daun itu tidak bisa lagi menghalangi air
hujan yang jatuh,.. siput menjadi basah dan kedinginan terkena air hujan.
Kemudian siput pindah ke dalam lubang yang ada di batang pohon, Jika hari
panas, siput terlindung dengan baik, bahkan jika hujan turun, siput tidak akan
basah dan kedinginan. Sepertinya aku menemukan rumah yang cocok untukku, gumam
siput dalam hati.
Tetapi di suatu hari yang cerah, datanglah burung pelatuk ,,
tok..tok…tok… burung pelatuk terus mematuk batang pohon tempat rumah siput,
siput menjadi terganggu dan tidak bisa tidur,
Dengan hati jengkel, siput turun dari lubang batang pohon dan mencari
tempat tinggal selanjutnya. Siput menemukan sebuah lubang di tanah,
kelihatannya hangat jika malam datang, pikir siput. Siput membersihkan lubang
tersebut dan memutuskan untuk tinggal di dalamnya, tetapi ketika malam datang,
tikus-tikus datang menggali dari segala arah merusak rumah siput. Apa mau
dikata, siput pergi meninggalkan lubang itu untuk mencari rumah baru….
Siput berjalan terus sampai di tepi pantai penuh dengan batu karang.
Sela-sela batu karang dapat menjadi rumahku !!! siput bersorak senang, aku bisa
berlindung dari panas matahari dan hujan, tidak aka nada burung pelatuk yang
akan mematuk batu karang ini, dan tikus-tikus tidak akan mampu menggali lubang
menembus ke batu ini.
Siput pun dapat beristirahat dengan tenang, tetapi ketika air laut pasang
dan naik sampai ke atas batu karang, siput ikut tersapu bersama dengan ombak.
Sekali lagi siput harus pergi mencari rumah baru. Ketika berjalan meninggalkan
pantai, siput menemukan sebuah cangkang kosong, bentuknya cantik dan sangat
ringan….
Karena lelah dan kedinginan, Siput masuk ke dalam cangkang itu , merasa
hangat dan nyaman lalu tidur bergelung di dalamnya.
Ketika pagi datang, Siput menyadari telah menemukan rumah yang terbaik
baginya. Cangkang ini sangat cocok untuknya. Aku tidak perlu lagi cepat-cepat
pulang jika hujan turun, aku tidak akan kepanasan lagi, tidak ada yang akan menggangguku,
…. aku akan membawa rumah ini bersamaku
ke manapun aku pergi.
Petani yang
Baik Hati
Di suatu desa,
hiduplah seorang petani yang sudah tua. Petani ini hidup seorang diri dan
sangat miskin, pakaiannya penuh dengan tambalan dan rumahnya terbuat dari gubuk
kayu. Musim dingin sudah tiba, Pak Petani tidak punya makanan, juga tidak
mempunyai kayu bakar untuk menghangatkan diri, jadi hari ini Pak Petani hendak
pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan. Ketika keluar dari rumah, dilihatnya
ada sebutir telur tergeletak diatas tanah bersalju.
Dengan hati-hati
dipungutnya telur tersebut dan dibawanya ke dalam rumah. Pak Petani menyelimuti
telur itu dengan kain lusuh dan meletakkannya di dalam kardus agar tetap
hangat. Setelah itu dia pergi ke pasar untuk bekerja.
Pak Petani
membuat telur itu menjadi hangat setiap hari sampai telur itu menetas. Ternyata
telur itu adalah telur Burung Camar, mungkin induknya menjatuhkannya ketika
hendak pindah ke tempat yang lebih hangat. Pak Petani merawat Burung Camar kecil
itu dengan penuh kasih sayang. Dia selalu membagi setiap makanan yang
diperolehnya dari bekerja di pasar. Ketika harus meninggalkan Burung Camar itu
sendirian, Pak Petani akan meletakkannya di dalam kardus dan menyalakan
perapian agar Burung Camar tetap hangat.
Hari-hari
berlalu, Burung camar kecil tumbuh semakin besar. Pak Petani sadar, Burung
Camar ini tidak selamanya akan tinggal bersama dirinya. Dengan berlinang air
mata, Pak Petani melepaskan Burung Camar itu agar pergi ke selatan, ke tempat
yang hangat.
Suatu hari, Pak
Petani terbaring sakit karena kedinginan, dia tidak punya uang untuk membeli
obat, kayu bakar dan makanan.
Tok…tok…..tok…….,
terdengar suara dari pintu rumah Pak Petani.
Ternyata Burung
Camar itu kembali, diparuhnya terdapat benih tanaman.
Pak Petani heran
Burung Camar itu masih mengingatnya, dibiarkannya Burung Camar itu masuk dan
memberinya minum. Sambil memandang benih yang dibawa oleh burung Camar, Pak
Petani bertanya-tanya… benih apakah ini ? dapatkah aku menanamnya di tengah
musim dingin ini ? tanyanya dalam hati.
Burung Camar
keluar dari rumah Pak Petani, membuat lubang di halaman rumah Pak Petani lalu
menanam benih itu . Ketika hari menjelang senja Burung Camar itu pergi
meninggalkan Pak Petani.
Esok harinya,
keajaiban terjadi, benih yang ditanam Burung Camar tumbuh menjadi Pohon lengkap
dengan buahnya hanya dalam sehari !!!! Pak Petani sangat terkejut melihatnya.
Karena lapar,
Pak Petani memakan buah pohon itu. Ajaib, tubuhnya menjadi kuat dan dia tidak
merasa sakit. Karena Keajaibannya, Pak Petani menamakan Pohon itu Pohon Dewa,
karena buahnya dapat membuat Pak Petani menjadi sehat kembali.
Pak Petani
merawat pohon itu dengan baik. Meskipun musim dingin, pohon itu terus berbuah
dan tidak menjadi kering. Pak Petani menjual buah itu dan mendapatkan banyak
uang.
Sekarang Pak
Petani tidak lagi kedinginan dan kelaparan. Meskipun demikian , Pak Petani
tetap murah hati, dia ingat bahwa apa yang diterimanya sekarang adalah buah
dari ketulusannya menolong sesama makhluk hidup.
BIJI-BIJI
BURUNG GEREJA
Di suatu lembah
yang subur, sekelompok binatang hidup dengan aman dan nyaman. Mereka tidak
pernah berkekurangan. Lembah itu menyediakan semua yang dibutuhkan para hewan.
Sumber mata air yang segar, pohon-pohon yang selalu berbuah tanpa mengenal
musim. Semua hewan hidup dengan bahagia.
Suatu hari
bertemulah seekor monyet dengan burung gereja yang sedang mematuk-matuk di
tanah. “ Apa yang sedang kau lakukan burung Gereja ?” Tanya Monyet. Burung
Gereja memandang Monyet dan berkata “ Aku sedang mengumpulkan biji-bijian “
Mendengar
jawaban Burung Gereja, Monyet tertawa terbahak-bahak “Ha…ha..ha…., untuk apa
kau mengumpulkan biji-biji itu, lihatlah di selilingmu, begitu banyak
buah-buahan yang bisa kau makan, kenapa kau malah mengumpulkan sesuatu yang
dibuang ?”
Tapi Burung
Gereja tidak menghiraukan perkataan Monyet dan tetap mengumpulkan biji
buah-buahan kemudian membawanya ke atas bukit. Esok harinya, Monyet bertemu
lagi dengan Burung Gereja, kali ini Monyet membawa buah apel di tangannya
“ Hai Burung
Gereja, kau sedang mencari biji-bijian lagi ya ? pantas saja kau tidak
bertambah besar, yang kau makan bijinya, bukan buahnya…ha.. ha…ha… “ Ejek
Monyet
Burung Gereja
hanya diam dan terus mengumpulkan biji- biji apel yang dibuang oleh Monyet. Suatu
hari turun hujan deras berhari-hari, lembah itu tertutup oleh air, semua
binatang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi di atas bukit.
Mereka
kedinginan dan kelaparan. Ketika hujan berhenti, mereka turun ke lembah untuk
mencari makanan, tetapi semua pohon tumbang tersapu air hujan, tidak ada lagi
buah-buahan untuk dimakan. “ Aku lapar, mengapa tidak ada sama sekali buah yang
bisa dimakan ?” rintih Monyet sambil melihat ke kanan dan ke kiri berharap
menemukan buah yang bisa dimakan.
Setelah berjalan
menyusuri lembah, Monyet bertemu lagi dengan Burung Gereja
“ Hai Burung
Gereja, kau kan bisa terbang tinggi, bisakah kau tunjukkan padaku dimana ada
buah yang bisa ku makan ? aku lapar sekali “ Tanya Monyet.
“ Mari, pergilah
ke rumahku di atas bukit, kau akan menemukan buah yang bisa kau makan “ Ajak
Burung Gereja. Karena tidak menemukan jalan lain lagi, Monyet mengikuti Burung
Gereja menuju ke atas bukit. Betapa terkejutnya Monyet melihat halaman rumah
Burung Gereja penuh dengan pohon yang berbuah lebat, Pisang, Apel, Strawberry,
Mangga, dan banyak lagi yang lainnya.
“ Bagaimana bisa
begitu banyak pohon buah tumbuh di halaman rumahmu “ Tanya Monyet heran. “
Sudah sejak lama aku mengumpulkan biji buah-buahan dan menanamnya di halaman
rumahku , aku menyiramnya dan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh, aku
merawatnya setiap hari “ jawab Burung Gereja.
“ Oooo…. Itulah
sebabnya kenapa kau selalu mengumpulkan biji buah-buhan yang dibuang. Kenapa
aku tidak berpikir untuk menanamnya sepertimu ya ?”
Burung Gereja
juga memberi tahu hewan-hewan lain untuk mengambil buah-buahan di halaman
rumahnya. Sejak saat itu, setiap kali mereka memakan buah, mereka menyisihkan
biji-bijinya untuk ditanam kembali, agar mereka tidak kelaparan lagi.
Istana Bunga
Dahulu
kala, hiduplah raja dan ratu yang kejam. Keduanya suka berfoya-foya dan
menindas rakyat miskin. Raja dan Ratu ini mempunyai putra dan putri yang baik
hati. Sifat mereka sangat berbeda dengan kedua orangtua mereka itu. Pangeran
Aji Lesmana dan Puteri Rauna selalu menolong rakyat yang kesusahan. Keduanya
suka menolong rakyatnya yang memerlukan bantuan. Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada
ayah bundanya, "Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang
miskin?!
"Raja
dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu. "Jangan mengatur orangtua! Karena kau
telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!" usir
Raja. Pangeran Aji Lesmana tidak
terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah
bundamya, "Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun
pergi!"
Raja
dan Ratu sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti
kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama
menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk mendapat ilmu.
Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua orangtua mereka.
Keduanya
sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah sangat
tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka. Mereka mencoba
mengetuk pintu.
"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, "Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."
"Silakan masuk, Anak Muda," sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro mengutarakan maksudnya, "Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin berguru pada Panembahan."
Kakek
sakti bernama Panembahan Manraba itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro.
Namun karena kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi
muridnya. Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada
Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan cepat
mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng
guru bijaksana dan sakti itu.
Suatu
malam Panembahan memanggil mereka berdua. "Anakku, Kusmantoro dan
Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini. Ilmu-ilmu
lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu amalan." "Amalan apa itu, Panembahan?" tanya
Kusmantari. "Besok pagi-pagi
sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu
berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga
melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna.
Mereka
ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka." Kusmantoro dan
Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak
ingin penyamaran mereka terbuka. "Dua
kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk
mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai
kejujuran hati," pesan Panembahan Manraba.
Ketika
menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya memikirkan
pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau mereka adalah
Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus terang, berarti
mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati hanya berkhasiat bila
disertai dengan kejujuran.
Akhirnya,
pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
"Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak
jujur kepada Panembahan selama ini." Saya mengerti, Anak-anakku. Saya
sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna.
Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana."
Setelah
mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna berangkat
menuju ke istana. Setibanya di istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit.
Mereka segera memeluk kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.
Puteri
Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian diberikan
pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu. Sifat mereka pun
berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia. Mereka meminta bibit melati
ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya di taman mereka. Sehingga istana mereka
dikenal dengan nama Istana Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan
kebahagiaan.
Rajawali Yang Cerdik
Di
Suatu hari yang panas seekor rajawali sangat haus dan ingin minum. Sungai amat
jauh dan sangat melelahkan jika terbang ke sana untuk minum. Ia tidak melihat
kolam air di mana pun. Ia terbang berputar-putar. Akhirnya ia melihat sebuah
buyung di luar rumah. Rajawali terbang turun ke buyung itu. Di sana ada sedikit
air di dasar buyung. Rajawali memasukkan kepalanya ke dalam buyung tetapi ia
tidak menggapai air itu. Ia memanjat ke atas buyung. Ia memasukkan lagi
kepalanya ke dalam buyung tetapi paruhnya tidak bisa mencapai air itu.
Kemudian
ia mencari akal. Rajawali itu terbang tinggi dan kemudian turun menuju ke
buyung untuk memecahkannya dengan paruhnya tetapi buyung itu amat kuat. Ia
tidak dapat memecahkannya. Rajawali itu keluar terbang kearah buyung
kemudian ia menabrakkan sayapnya. Ia mencoba memecahkannya, agar airnya akan
keluar membasahi lantai. Tetapi buyung itu amat kuat. Rajawali itu amat letih
bila harus terbang lebih jauh lagi. Ia berpikir ia akan mati kehausan.
Rajawali
itu duduk termenung di sarangnya. Ia berpikir terus menerus Ia tidak mau
mati karena kehausan. Ia melihat banyak batu-batu kecil di tanah. Ia
mendapatkan ide. Ia mengambil batu itu dan memasukkannya ke dalam buyung. Ia
memasukkan dan memasukkan terus. Air itu naik lebih tinggi setiap kali batu
jatuh ke dalam buyung. Buyung itu hampir penuh dengan batu. Air telah naik
sampai ke permukaan. Rajawali yang pintar itu memasukkan paruhnya dan ia
mendapatkan air. Pepatah mengatakan bahwa “ Jika ada kemauan pasti ada jalan. “
Rajawali itu telah membuktikannya.
Anjing Yang Rakus
Adalah
seekor anjing mencuri sepotong tulang yag besar di warung. Ia
berlari kencang sekali sehingga tidak terkejar si tukang daging. Ia berlari ke
ladang sambil membawa tulang di moncongnya. Ia ingin makan semuanya sendirian.
Anjing
itu melewati sebuah sungai kecil. Ada sebuah jembatan sempit di atasnya. Ia
berjalan di jembatan itu sambil melihat ke air. Ia melihat bayangannya sendiri
di dalam air. Ia berpikir ada anjing lain dengan tulang di mulutnya. Anjing
yang rakus itu berpikir tulang yang di mulut anjing itu lebih besar dari pada
yang ia bawa.
Ia
meloncat ke air untuk merebut tulang yang lebih besar dari anjing yang ia lihat
tadi. Ia meloncat dengan sangat kuat sehingga tulang di mulutnya terlepas. Ia
mencari di mana-mana tetapi tidak menemukan anjing yang lain. Bayangan tadi
telah hilang.
Anjing
yang bodoh itu pulang kelaparan dan kedinginan. Ia kehilangan tulang yang ia
curi dari tukang daging dan tidak mendapatkan apa pun karena ia terlalu rakus.
SAUDAGAR JERAMI
Dahulu
kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang
orang lain dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke
kuil untuk berdoa. "Wahai, Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan
sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan". "Tolonglah
aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi
ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya
menjadi bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah
baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu
bahagia."
Keesokan
harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika
sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa
adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir
Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan
sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor
lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat
tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang
ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang
diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil
memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin mainan itu." Seorang pengawal
datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan ambil", ujar
Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya
kepada Taro.
"Wah,
sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati.
Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang
beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf, adakah tempat di dekat sini mata
air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh
dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan
jeruknya kepada wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi
sehat dan segar kembali". Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima
kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan
sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan
kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak
lagi. "Aduh, padahal kita sedang terburu-buru." Para pengawal
berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro
menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan
segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro
mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian
dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2
gulung kain yang tersisa.
Ketika
hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan
ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang
dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat
senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan
mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada
petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggangi kudanya.
Tiba-tiba
di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan
barang-barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro.
Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan
kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda yang bagus. Aku
menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang.
Bagaimanan
kalau ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera
habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau
ditukar", kata Taro.
"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana
jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya?",
Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak saat itu
taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap
sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang
sangat banyak.
Semakin
lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia
diberi julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang
kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi
akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan.
Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak
yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali
lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.
Pulau Kakak-Beradik
Karena dianggap sudah cukup umur, Mina dan Lina
dipanggil ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan kakak-beradik itu.
“Kalian sudah cukup
dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga,” kata sang ibu.
“Kami
mau dikawinkan dengan satu syarat,” kata Mina dan Lina.
“Apa syaratnya?”
“Karena
kami kakak-beradik, suami kami juga harus kakak-beradik.”
Sang ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak perkawinan.
Menurut Mina dan Lina, perkawinan membuat orang kehilangan segala sesuatu yang
mereka cintai, orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung halaman.
Demikianlah, karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang
menyunting Mina dan Lina, mereka tak kunjung menikah. Waktu pun terus berlalu.
Ibu Mina dan Lina meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya,
gadis kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu hari, sekelompok bajak laut menculik Lina.
Pemimpin bajak laut itu ingin memperistri Lina. Lina menolak dan meronta sekuat
tenaga.
Penculikan itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin
terpisah dari adiknya, Mina bertekad menyusul Lina. Dengan perahu yang lebih
kecil, Mina mengejar perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak
dihiraukannya. Mina terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba mendung datang. Tak lama kemudian hujan pun
turun. Halilintar menggelegar, petir menyambar-nyambar. Orang-orang berlarian
ke rumah masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu penculik Lina,
menelan Lina, menelan Mina, menelan semuanya.
Ketika keadaan kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh
dua pulau yang tiba-tiba muncul di kejauhan. Mereka yakin, pulau itu adalah
penjelmaan Mina dan Lina. Kedua pulau itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera
dan Sekijang Pelepah, tetapi kebanyakan orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.
Bukit Merah
Dulu, Singapura pernah direpotkan oleh ikan todak.
Ikan bermoncong panjang dan tajam itu suka menyerang penduduk. Tak terhitung
berapa banyak penduduk yang luka-luka dan mati akibat serangan ikan ganas itu.
Raja kemudian memerintahkan penglima perangnya untuk
menaklukkan ikan-ikan jahat itu. Maka, dipersiapkanlah sepasukan prajurit untuk
membunuh ikan itu. Akan tetapi, hampir semua prajurit itu mati di moncong
Todak. Raja bingung bagaimana menundukkan ikan itu.
Di
tengah kebingungannya, Raja didatangi seorang anak kecil.
“Mohon
ampun, Paduka yang Mulia, bolehkah hamba mengatakan sesuatu tentang ikan-ikan
itu?”
“Katakanlah!”
“Ikan-ikan itu hanya bisa ditaklukkan dengan pagar
pohon pisang.”
“Apa
maksudmu?”
Yang dimaksud anak kecil itu adalah pagar yang
terbuat dari batang pohon pisang. Pohon-pohon itu ditebang, dijajarkan,
kemudian direkatkan dengan cara ditusuk dengan bambo antara yang satu dan
lainnya hingga menyerupai pagar. Pagar itu kemudian ditaruh di pinggir pantai,
tempat ikan-ikan itu biasa menyerang penduduk.
Raja kemudian memerintahkan Panglima untuk membuat apa yang
dilkatakan anak kecil itu. Diam-diam Panglima mengakui kepintaran si anak.
Diam-diam pula dia membenci anak kecil itu. Gagasan si anak membuat Panglima
merasa bodoh di hadapan Raja.
“Seharusnya akulah yang mempunyai gagasan itu. Bukankah aku
panglima perang tertinggi? Masak aku kalah oleh anaka kecil,” katanya dalam
hati.
Keesokan harinya, selesailah pagar pohon pisang itu. Pagar
itu lalu ditaruh di tepi pantai sebagaimana yang dikatakan si anak kecil.
Ternyata benar. Ikan-ikan yang menyerang pagar pohon pisang
itu tak bisa menarik kembali moncongnya. Mereka mengelepar-gelepar sekuat
tenaga, tetapi sia-sia. Moncong mereka yang panjang dan tajam itu menancap kuat
dan dalam pada batang pohon pisang yang lunak itu. Akhirnya, dengan mudah
penduduk dapat membunuh ikan-ikan jahat itu.
Si anak pun diberi
hadiah oleh Raja.
“Terima kasih. Kau
sungguh-sungguh anak yang pintar,” puji Raja.
Orang-orang
bersuka cita.
Akan
tetapi, panglima perang yang iri dan kesal karena merasa tampak bodoh di
hadapan Raja itu menghasut Raja.
“Baginda, anak kecil
yang cerdas itu tampaknya bisa menjadi ancaman jika dia besar nanti.”
“Maksudmu?”
“Siapa
tahu, setelah besar nanti, dengan kepintarannya dia berhasrat merebut tahta
Paduka.”
Raja terhasut. Ia lalu memerintahkan Sang Panglima
untuk menyingkirkan anak itu.
Sang Panglima mendatangi
rumah anak kecil itu dan dengan licik membunuh anak tak berdosa itu. Anehnya,
darah si anak mengalir deras dan membasahi seluruh tanah bukit tempat anak itu
tinggal. Seluruh bukit menjadi merah. Orang-orang lalu menyebut tempat itu
Bukit Merah.
Asal Nama Singapura
Ratusan tahun yang lalu hiduplah Sang Nila Utama,
Raja Sriwijaya. Pada suatu hari, ditemani beberapa pengawal setianya, Raja
pergi berlayar. Di perjalanan angin topan datang. Para pengawal mengusulkan
agar Raja membatalkan niatnya.
“Paduka, sungguh berbahaya meneruskan perjalanan pada saat
seperti ini. Lebih baik kita singgah dulu ke tempat yang aman. Kalau hamba tak
keliru, tempat terdekat dari sini adalah Pulau Tumasik. Bagaimana kalau kita ke
sana sambil menunggu keadaan tenang,” kata kapten kapal.
Raja
setuju. Perahu mereka pun merapat ke Pulau Tumasik.
Setelah mendarat, Raja meninggalkan kapal dan
berkeliling melihat-lihat pulau itu. Ketika berkeliling itulah tiba-tiba seekor
binatang berkelebat tak jauh darinya. Raja terkejut dan terpukau. Binatang itu
begitu besar, berwarna keemasan, dan tampak gagah. “Mahluk apakah itu?”
“Kalau hamba tak salah,
orang-orang menyebutnya singa, Yang Mulia,” jawab salah seorang pengawal. “Apa?” “Singa.” Raja lalu minta keterangan lebh banyak tentang binatang
yang baru pertama kali dilihatnya itu. Dengan penuh perhatian Raja
mendengarkana penjelasan pengawalnya. “Kalau
begitu, kita beri nama tempat ini Singapura. Artinya: Kota Singa”.
Sejak
itulah kota itu bernama Singapura.
Pulau Hantu
Tersebutlah
dua orang jagoan yang selalu ingin menunjukkan dirinya lebih jago dari yang
lain. Pada suatu hari, mereka bertemu di perairan sebelah selatan
Singapura. Tanpa ba atau bu, mereka langsung
saling menyerang. Mereka bertarung lama sekali hingga tubuh mereka bersimbah
darah. Karena sama-sama kuat, tak ada tanda-tanda siapa yang akan kalah.
Jin
Laut tidak suka dengan pertarungan itu karena darah mereka mengotori laut. Jin
Laut lalu menjungkirbalikkan perahu mereka. Maksudnya agar mereka berhenti
bertarung. Ternyata, mereka tetap bertarung. Dengan kesaktiannya masing-masing,
mereka bertarung di atas air. “Hei, aku perintahkan kalian berhenti beratarung!
Ini wilayah kekuasaanku. Kalau tidak…” Bukannya berhenti, kedua jagoan itu
malah bertempur lebih seru. Dengan isyarat tangan, mereka bahkan seperti
mengejek Jin Laut.
Jin
Laut marah. Dia menyemburkan air ke wajah kedua jagoan itu sehingga pandangan
mereka terhalang. Karena tak dapat melihat dengan jelas, kedua jagoan itu
bertempur secara membabi-buta. Mereka mengayunkan pedang ke sana-kemari
sekehendajk hati sampai akhirnya bersarang di tubuh lawan masing-masing. Kedua
jagoan itu pun menemui ajalnya.
Para
dewa di kayangan murka karena Jin Laut turut campur urusan manusia. Mereka
memperingatkan Jin Laut untuk tidak lagi ikut campur urusan manusia. Jin Laut
mengaku salah dan mencoba menebus dosa dengan membuatkan tempat khusus agar roh
kedua jagoan itu dapat bersemayam dengan tenang. Jin Laut menyulap sampan yang
ditumpangi kedua jagoan itu menjadi pulau tempat bersemayam roh mereka.
Orang-orang kemudian menyebut pulau itu sebagai Pulau Hantu.
Emas dan Batu
Berkat kerja keras dan selalu menabung, petani itu
akhirnya kaya raya. Karena tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya,
seluruh tabungannya dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di
belakang rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan emasnya,
dan diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia kembali mengubur
emasnya.
Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu. Malam harinya,
penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.
Esok harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh tetangga mengetahui
apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa yang mencuri emasnya.
Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi emas itu saja mereka baru tahu
hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada yang tahu bahwa petani itu
memiliki emas yang dikubur di belakang rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih
atas pencurian itu, sebagian yang lain mengejek dan menganggap petani itu
bodoh.
“Salah sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja dan uangnya
dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus, tidak reot seperti
sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai sumbangan, selalu saja
jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan sendiri!”
Tetapi tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau mengumpat petani
yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan umpatan hanya diucapkan di antara
sesama mereka saja, tidak di hadapan si petani. Hanya seorang lelaki tua miskin
yang berani bersikap jujur kepada petani itu. Lelaki tua itu tinggal tak jauh
dari rumah si petani.
“Sudahlah, begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah sebongkah batu
atau apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.” Mendengar itu, si
petani marah. “Apa maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas,
bukan batu. Kau sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang cuma
bisa mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku. Kini aku
kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu. Kau pikir batu sama
dengan emas?! Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai. Dengan tenang lelaki tua
itu menjawab:
“Apa bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas, seharusnya kau juga
bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur emas berarti kau telah
menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang tidak berharga. Lalu, apa
salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang kau kubur itu adalah emas.”
Nyamuk Pertama
Pada zaman dahulu hiduplah seorang petani
sederhana bersama istrinya yang cantik. Petani itu selalu bekerja keras, tetapi
istrinya hanya bersolek dan tidak mempedulikan rumah tangganya. Mereka tinggal
di rumah yang sangat sederhana dan hidup dari hasil pertanian sebagaimana
layaknya keluarga petani.
Sang istri yang cantik itu tidak puas dengan keadaan mereka. Dia merasa, sudah
selayaknya jika suaminya berpenghasilan lebih besar supaya dia bisa merawat
kecantikannya. Untuk memenuhi tuntutan istrinya, petani itu bekerja lebih
keras. Namun, sekeras apa pun kerja si petani, dia tak mampu memenuhi tuntutan
istrinya. Selain minta dibelikan obat-obatan yang dapat menjaga kecantikanya,
istrinya juga suka minta dibelikan pakaian yang bagus-bagus yang tentunya
sangat mahal.
“Bagaimana bisa kelihatan cantik kalau pakaianku buruk,” kata sang istri.
Karena hanya sibuk mengurusi penampilan, istri yang cantik itu tidak
memperhatikan kesehatannya. Dia jatuh sakit. Sakitnya makin parah hingga
akhirnya meninggal dunia. Suaminya begitu sedih. Sepanjang hari dia menangisi
istrinya yang kini terbujur tanpa daya. Karena tak ingin kehilangan, petani itu
tak mau mengubur tubuh istrinya yang amat dicintainya itu. Dia ingin
menghidupkan kembali istrinya.
Esok harinya suami yang malang itu menjual semua miliknya dan membeli sebuah
sampan. Dengan sampan itu dia membawa jasad istrinya menyusuri sungai menuju
tempat yang diyakini sebagai persemayaman para dewa. Dewa tentu mau
menghidupkan kembali istriku, begitu pikirnya.
Meskipun tak tahu persis tempat persemayaman para dewa, petani itu terus
mengayuh sampannya. Dia mengayuh dan mengayuh tak kenal lelah. Suatu hari,
kabut tebal menghalangi pandangannya sehingga sampannya tersangkut. Ketika
kabut menguap, di hadapannya berdiri sebuah gunung yang amat tinggi, yang
puncaknya menembus awan. Di sinilah tempat tinggal para dewa, pikir Petani. Dia
lalu mendaki gunung itu sambil membawa jasad istrinya. Dalam perjalanan dia
bertemu dengan seorang lelaki tua. “Kau pasti dewa penghuni kayangan ini,” seru
si petani dengan gembira. Dikatakannya maksud
kedatangannya ke tempat itu. Laki-laki tua itu
tersenyum.
“Sungguh kau suami yang baik. Tapi, apa gunanya menghidupkan kembali istrimu?”
“Dia sangat berarti bagiku. Dialah yang membuat aku bersemangat. Maka
hidupkanlah dia kembali,” kata si petani. Laki-laki tua itu menganggukkan
kepalanya.
“Baiklah kalau begitu. Akan kuturuti permintaanmu. Sebagai balasan atas
kebaikan dan kerja kerasmu selama ini, aku akan memberimu rahasia bagaimana
cara menghidupkan kembali istrimu. Tusuk ujung jarimu, lalu percikkan tiga
tetes darah ke mulutnya. Niscaya dia akan hidup kembali. Jika setelah itu
istrimu macam-macam, ingatkan bahwa dia hidup dari tiga tetes darahmu.” Petani itu segera melaksanakan pesan dewa itu. Ajaib,
istrinya benar-benar hidup kembali. Tanpa
pikir panjang, suami yang bahagia itu pun membawa pulang istrinya. Tapi, sang
istri tahu, selain sampan yang dinaiki mereka, kini suaminya tak punya apa-apa
lagi. Lalu, dengan apa dia merawat kecantikannya?
Suatu hari, sampailah suami-istri itu di sebuah pelabuhan yang sangat ramai.
Petani turun dari sampan dan pergi ke pasar untuk membeli bekal perjalanan dan
meninggalkan istrinya sendirian di sampan. Kebetulan, di sebelah sampan mereka
bersandar sebuah perahu yang sangat indah milik seorang saudagar kaya yang
sedang singgah di tempat itu. Melihat kecantkan istri si petani, pemiliik
perahu itu jatuh cinta dan membujuk perempuan cantik itu untuk ikut bersamanya. “Kalau kau mau ikut denganku, akan aku belikan apa saja
yang kau minta,” kata sang saudagar.
Sang istri petani tergoda. Dia lalu pergi dengan saudagar itu. Pulang dari
pasar Petani terkejut karena istrinya tak ada lagi di sampannya. Dia mencari ke
sana-kemari, tetapi sia-sia. Setahun kemudian, bertemulah dia dengan istrinya,
tetapi istrinya menolak kembali kepadanya. Petani lalu teringat kepada dewa
yang memberinya rahasia menghidupkan kembali istrinya.
“Sungguh kau tak tahu berterima kasih. Asal tahu saja, kau hidup kembali karena
minum tiga tetes darahku.” Istrinya tertawa mengejek. “Jadi, aku harus
mengembalikan tiga tetes darahmu? Baiklah…”
Sang istri pun menusuk salah satu jarinya dengan maksud memberi tiga tetes
darahnya kepada suaminya. Namun, begitu tetes darah ketiga menitik dari
jarinya, wajahnya memucat, tubuhnya lemas, makin lemas, hingga akhirnya jatuh
tak berdaya. Mati.
Setelah mati, dia menjelma menjadi nyamuk. Sejak itu, setiap malam nyamuk
jelmaan wanita cantik itu berusaha menghisap darah manusia agar dapat kembali
ke wujudnya semula.
ANAK KATAK YANG SOMBONG DAN ANAK LEMBU
Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat
sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-puluh katak. Diantara katak-katak
tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah anak katak yang
paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat sombong.
Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.
Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati
agar Kentus tidak bersikap sombong pada teman-temannya yang lain. Tetapi
nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini yang menyebabkan
teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai teman
bermain lagi.
Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di
padang rumput. Ketika itu juga ada seekor anak lembu yang sedang bermain di
situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot susu. Anak lembu
itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang
segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si
Kenthus.
"Huh, berani makhluk ini mengusikku,"
kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba menjauhi anak lembu itu.
Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya. Kebetulan
pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus menjadi cemas
dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.
Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi
kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat capek, kawan-kawannya nampak
sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah, mukamu juga
kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja.
Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tetapi
makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata
Kenthus.. Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan.
" Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak, anak lembu tidak jahat.
Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi." "Tidak jahat? Kenapa kakak bias bilang seperti itu?
Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata Kenthus. "Ah, tidak
mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas
kakaknya lagi.
"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku
dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah Kenthus. "Wahai
kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan diriku,"
Kata Kenthus dengan bangga. " Lawan saja Kenthus!
Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai. "Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi
lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya. Hentikan!" kata Kakak Kenthus
berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat kakaknya. Kenthus terus
mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya. Sebenarnya, mereka
sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong itu.
"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!"
Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus. Setelah perut Kenthus
menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas. Perutnya sangat
sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang lemas,
kakak Kenthus lalu membantu. Mujurlah Kenthus tidak
apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi sikapnya telah banyak berubah.
Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.
PERI DAN
HUTAN BERKABUT
Di sebuah desa
hiduplah seorang anak perempuan yang lugu. Sheila namanya. Ia senang sekali
bermain di tepi hutan. Ibunya selalu mengingatkannya agar tak terlalu jauh
masuk ke hutan. Penduduk desa itu percaya, orang yang terlalu jauh masuk ke
hutan, tak akan pernah kembali. Bagian dalam hutan itu diselubungi kabut tebal.
Tak seorang pun dapat menemukan jalan pulang jika sudah tersesat.
Sheila selalu
mengingat pesan ibunya. Namun ia juga penasaran ingin mengetahui daerah
berkabut itu. Setiap kali pergi bermain, ibu Sheila selalu membekalinya dengan
sekantong kue, permen, coklat, dan sebotol jus buah. Sheila sering datang ke
tempat perbatasan kabut di hutan. Ia duduk di bawah pohon dan menikmati
bekalnya di sana. Sheila ingin sekali melangkahkan kakinya ke dalam daerah
berkabut itu. Namun ia takut.
Suatu kali,
seperti biasa Sheila datang ke daerah perbatasan kabut. Seperti biasa ia duduk
menikmati bekalnya. Tiba-tiba Sheila merasa ada beberapa pasang mata
memperhatikannya. Ia mengarahkan pandangan ke sekeliling untuk mencari tahu.
Namun Sheila tak menemukan siapa-siapa. “Hei! Siapa pun itu, keluarlah! Jika
kalian mau, kalian dapat makan kue bersamaku,” teriak Sheila penasaran.
Mendengar tawaran
Sheila, beberapa makhluk memberanikan diri muncul di depan Sheila. Tampak tiga
peri di hadapan Sheila. Tubuh mereka hanya separuh tinggi badan Sheila. Di
punggungnya ada sayap. Telinga mereka berujung lancip. Dengan takut-takut
mereka menghampiri Sheila. Anak kecil pemberani itu tanpa ragu-ragu menyodorkan
bekalnya untuk dimakan bersama-sama. Peri-peri itu bernama Pio, Plea, dan Plop.
Ketiga peri itu kakak beradik.
Sejak saat itu
Sheila dan ketiga kawan barunya sering makan bekal bersama-sama. Kadang mereka
saling bertukar bekal. Suatu hari Sheila bertanya kepada ketiga temannya, “Pio,
Plea, Plop. Mengapa ada daerah berkabut di hutan ini? Apa isinya? Dan mengapa
tak ada yang pernah kembali? Kalian tinggal di hutan sebelah mana?” tanya
Sheila penuh ingin tahu. Mendengar pertanyaan Sheila ketiga peri itu saling
bertukar pandang. Mereka tahu jawabannya namun ragu untuk memberi tahu Sheila.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya mereka memberitahu rahasia hutan berkabut
yang hanya diketahui para peri.
“Para peri
tinggal di balik hutan berkabut. Termasuk kami. Kabut itu adalah pelindung agar
tak seorang pun dapat masuk ke wilayah kami tanpa izin. Kami tiga bersaudara
adalah peri penjaga daerah berkabut. Jika kabut menipis, kami akan meniupkannya
lagi banyak-banyak. Jika ada tamu yang tak diundang masuk ke wilayah kami, kami
segera membuatnya tersesat,” jelas Pio, Plea, Plop.
Sheila
terkagum-kagum mendengarnya. “Bisakah aku datang ke negeri kalian suatu waktu?”
tanya Sheila berharap. Ketiga peri itu berembuk sejenak. “Baiklah. Kami akan
mengusahakannya,” kata mereka. Tak lama kemudian Sheila diajak Pio, Plea dan
Plop ke negeri mereka. Hari itu Sheila membawa kue, coklat, dan permen
banyak-banyak. Sebelumnya, Sheila didandani seperti peri oleh ketiga temannya.
Itu supaya mereka bisa mengelabui para peri lain. Sebenarnya manusia dilarang
masuk ke wilayah peri. Ketiga teman Sheila ini juga memberi kacamata khusus
pada Sheila. Dengan kacamata itu Sheila dapat melihat dengan jelas.
Daerah berkabut
penuh dengan berbagai tumbuhan penyesat. Berbagai jalan yang berbeda nampak
sama. Jika tidak hati-hati maka akan tersesat dan berputar-putar di tempat yang
sama. Dengan bimbingan Pio, Plea, dan Plop akhirnya mereka semua sampai ke
negeri peri. Di sana rumah tampak mungil. Bentuknya pun aneh-aneh. Ada rumah
berbentuk jamur, berbentuk sepatu, bahkan ada yang berbentuk teko. Pakaian mereka
seperti kostum untuk karnaval. Kegiatan para peri pun bermacam-macam. Ada yang
mengumpulkan madu, bernyanyi, membuat baju dari kelopak bunga… Semua tampak
riang gembira.
Sheila sangat
senang. Ia diperkenalkan kepada anak peri lainnya. Mereka sangat terkejut
mengetahui Sheila adalah manusia. Namun mereka senang dapat bertemu dan
berjanji tak akan memberi tahu ratu peri. Rupanya mereka pun ingin tahu tentang
manusia. Mereka bermain gembira. Sheila dan para anak peri berkejar-kejaran,
bernyanyi, bercerita dan tertawa keras-keras. Mereka juga saling bertukar
makanan. Pokoknya hari itu menyenangkan sekali.
Tiba-tiba ratu
peri datang. “Siapa itu?” tanyanya penuh selidik. “Ratu, dia adalah teman hamba
dari hutan utara,” jawab Plop takut. Ia terpaksa berbohong agar Sheila tak
ketahuan. Ratu peri memperhatikan Sheila dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Setelah itu ia pergi. Sheila bermain lagi dengan lincah. Namun sayang ia
terpeleset. Sheila jatuh terjerembab. Ketika itu cuping telinga palsunya copot.
Ratu peri melihat hal itu. Ia amat marah.
“Manusia!
Bagaimana ia bisa sampai kemari? Siapa yang membawanya?” teriaknya mengelegar.
Pio, Plea, dan Plop maju ke depan dengan gemetar. “Kami, Ratu,” jawab mereka
gugup. “Ini pelanggaran. Jika ada manusia yang tahu tempat ini, maka tempat ini
tidak aman lagi. Kalian harus dihukum berat,” teriak ratu peri marah. Sheila
yang saat itu juga ketakutan memberikan diri maju ke depan. “Mereka tidak
bersalah, Ratu. Akulah yang memaksa mereka untuk membawaku kemari.” “Kalau begitu,
kau harus dihukum menggantikan mereka!” gelegar ratu peri.
Sheila dimasukkan
ke dalam bak air tertutup. Ia akan direbus setengah jam. Namun ketika api sudah
dinyalakan ia tidak merasa panas sedikit pun. “Keluarlah! Kau lulus ujian, ”
kata ratu peri. Ternyata kebaikan hati Sheila membuat ia lolos dari hukuman. Ia
diperbolehkan pulang dan teman perinya bebas hukuman. Ratu peri membuat Sheila
mengantuk dan tertidur. Ia menghapus ingatan Sheila tentang negeri peri. Namun
ia masih menyisakannya sedikit agar Sheila dapat mengingatnya di dalam mimpi.
Ketika terbangun, Sheila berada di kasur kesayangannya.
Raja Telinga Keledai
Raja
Zanas memerintah dengan sewenang-wenang. Kegemarannya menumpuk harta sebanyak
mungkin yang diperolehnya dari pajak rakyatnya. Raja Zanas selain tamak juga
seorang raja yang sangat kikir. Rakyat yang hidup sengsara tidak sekalipun
pernah dipikirkannya. Anehnya raja yang zalim itu mempunyai kegemaran
mendengarkan musik.
Padahal
kata orang-orang bijak musik dapat memperhalus perasaan. Oleh karena itu yang
menyukainya akan mempunyai perasaan yang lembut tetapi cerdas. Salah satu
kegemaran Raja Zanas adalah mendengarkan tiupan suling. Kebetulan di negerinya
ada seorang peniup seruling yang sangat pandai bernama Tarajan.
Raja
Zanas sangat memanjakan Tarajan dan kerap mengirim peniup seruling itu ke
seluruh penjuru negeri bahkan ke luar kerajaannya untuk berlomba. Tarajan
selalu jadi juara pertama dan memperoleh hadiah-hadiah yang menggiurkan. Sayang
karena hal itu Tarajan jadi sombong dan congkak. Karena sombongnya Tarajan
mengaku dapat mengalahkan Dewa Apolo. Seorang Dewa bangsa Yunani yang sangat
menguasai seni musik.
Tarajan
mengusulkan pada Raja Zanas agar ia dipertandingkan dengan Apolo. Usul itu
diterima dengan baik bahkan raja merasa bangga jika Tarajan dapat mengalahkan
pemain musik dari kerajaan langit itu. Dewa Apolo yang mendengar tantangan itu
menyanggupi. Justru Dewa itu ingin memberi pelajaran pada Tarajan dan Raja
Zanas yang berkelakuan tidak lazim.
“Seandainya
aku kalah biarlah aku mengabdi pada Raja Zanas seumur hidupku. Tetapi andaikan
aku yang menang aku minta separuh kerajaanmu dan kuserahkan pada rakyatmu” kata
Dewa Apolo. Raja Zanas dan Tarajan setuju. Mereka begitu yakin dapat
mengalahkan Apolo yang tampak masih sangat muda itu.
Pada
hari yang telah ditentukan pertandingan dimulai. Seluruh rakyat tumpah ruah ke
halaman Istana. Sedangkan Dewa Zeus sebagai penguasa seluruh khayangan ikut
menyaksikan tanpa seorang pun yang tahu. Sebagai penantang Tarajan dipersilakan
meniup seruling terlebih dahulu. Dengan pongah Tarajan naik ke atas podium lalu
segera meniup serulingnya. Seruling emas berbalut intan permata milik Tarajan
segera mengumandangkan lagu-lagi yang sangat merdu. Naik turun seperti ombak.
Lembut seperti angin pesisir. Bergolak seperti ombak menerjang karang.
Semua
yang mendengarkan bagaikan tersihir. Begitu hebatnya tiupan seruling Tarajan.
Raja Zanas tertawa terbahak-bahak dan yakin sekali peniup serulingnya akan
keluar jadi pemenang. Tetapi Dewa Apolo tenang. Diam bagaikan patung, tetapi
bibirnya tersenyum. Pertanda kagum juga pada permainan seruling Tarajan. Dan
ketika usai sorak ssorai seperti membelah angkasa. Tarajan berdiri berkacak
pinggang dengan wajah sangat pongah.
Ketika
giliran Dewa Apolo, Dewa kesenian itu mengangkat serulingnya dengan cantik
sekali. Lembut bagaikan menimang bayi suci. Dan ketika bibirnya mulai meniupkan
sebuah lagu, langit berpendar-pendar antara siang dan malam. Rakyat yang
menonton terhanyut dalam irama yang luar biasa indah. Dengan mata terpejam
semua menari dengan lembut sekali. Mereka pun menyanyi sebuah lagu kedamaian
yang sekonyong saja mampu dinyanyikan. Rakyat yang jumlahnya tidak terhitung
itu larut dalam lagu-lagu dan irama yang sebelumnya tidak pernah mereka
dengarkan tetapi sangat merdu mendayu-dayu.
Akhirnya
Dewa Zeus yang menampakkan diri menyatakan Apolo sebagai pemenangnya. Dan
meminta Raja Zanas seger memberikan separuh kerajaannya pada rakyatnya. Tetapi
raja kikir itu menolakk hingga membuat Dewa Zeus marah. “Selama kau tidak
memberikan pada rakyat apa yang telah kau janjikan, maka telingamu akan
membesar setiap hari.” Kata Dewa Zeus.
Memang
benar. Telinga Raja Zanas tiap hari semakin besar hingga sangat berat dan
membuatnya tidak bisa berdiri apalagi berjalan. Jadilah ia raja bertelinga
keledai. Akhirnya Raja Zanas menyerahkan separuh kerajaannya pada rakyatnya.
Dan berjanji tidak lagi kikir dan tamak. Dewa Zeuslah saksi dari ucapannya.
ASAL MULA GUNTUR
Dahulu
kala peri dan manusia hidup berdampingan dengan rukun. Mekhala, si peri cantik
dan pandai, berguru pada Shie, seorang pertapa sakti. Selain Mekhala, Guru Shie
juga mempunyai murid laki-laki bernama Ramasaur. Murid laki-laki ini selalu iri
pada Mekhala karena kalah pandai. Namun Guru Shie tetap menyayangi kedua
muridnya. Dan tidak pernah membedakan mereka.
Suatu
hari Guru Shie memanggil mereka dan berkata, “Besok, berikan padaku secawan
penuh air embun. Siapa yang lebih cepat mendapatkannya, beruntunglah dia. Embun
itu akan kuubah menjadi permata, yang bisa mengabulkan permintaan apapun.”
Mekhala dan Ramasaur tertegun. Terbayang oleh Ramasaur ia akan meminta harta
dan kemewahan. Sehingga ia bisa menjadi orang terkaya di negerinya. Namun
Mekhala malah berpikir keras. Mendapatkan secawan air embun tentu tidak mudah,
gumam Mekhala di dalam hati.
Esoknya
pagi-pagi sekali kedua murid itu telah berada di hutan. Ramasaur dengan ceroboh
mencabuti rumput dan tanaman kecil lainnya. Tetapi hasilnya sangat
mengecewakan. Air embun selalu tumpah sebelum dituang ke cawan. Sebaliknya,
Mekhala dengan hati-hati menyerap embun dengan sehelai kain lunak. Perlahan
diperasnya lalu dimasukan ke cawan. Hasilnya sangat menggembirakan. Tak lama
kemudian cawannya telah penuh. Mekhala segera menemui Guru Shie dan memberikan
hasil pekerjaannya.
Guru
Shie menerimanya dengan gembira. Mekhala memang murid yang cerdik. Seperti
janjinya, Guru Shie mengubah embun itu menjadi sebuah permata sebesar ibu jari.
” Jika kau menginginkan sesuatu, angkatlah permata ini sejajar dengan keningmu.
Lalu ucapkan keinginanmu,” ujar Guru Shie. Mekhala mengerjakan apa yang
diajarkan gurunya, lalu menyebut keinginannya. Dalam sekejap Mekhala telah
berada di langit biru. Melayang-layang seperti Rajawali. Indah sekali.
Sementara
itu, baru pada senja hari Ramasaur berhasil mendapat secawan embun. Hasilnya
pun tidak sejernih yang didapat Mekhala. Tergopoh-gopoh Ramasaur menyerahkannya
pada Guru Shie. “Meskipun kalah cepat dari Mekhala, kau akan tetap mendapat
hadiah atas jerih payahmu,” kata Guru Shie sambil menyerahkan sebuah kapak sakti.
Kapak itu terbuat dari perak. Digunakan untuk membela diri bila dalam bahaya.
Bila kapak itu dilemparkan ke sasaran, gunung pun bisa hancur.
Ternyata
Ramasaur menyalahgunakan hadiah itu. Ia iri melihat Mekhala yang bisa
melayang-layang di angkasa. Ramasaur segera melemparkan kapak itu ke arah
Mekhala. Tahu ada bahaya mengancam, Mekhala menangkis kapak itu dengan
permatanya. Akibatnya terjadilah benturan dahsyat dan cahaya yang sangat
menyilaukan. Benturan itu terus terjadi hingga saat ini, berupa gelegar yang
memekakkan telinga. Orang-orang menyebutnya “guntur”.
Alibaba dan Penyamun
Pada
jaman dahulu dikota Persia, hidup 2 orang bersaudara yang bernama Kasim dan
Alibaba. Kedua saudara itu memiliki perbedaan dalam hidupnya. Alibaba hidup
dalam kemiskinan dan tinggal di daerah pegunungan. Ia mengandalkan hidupnya
dari penjualan kayu bakar yang dikumpulkannya. Berbeda dengan kakaknya yang
hidup kecukupan, tetapi serakah.
Suatu
hari, ketika Alibaba pulang dari mengumpulkan kayu bakar, ia melihat segerombol
penyamun yang berkuda. Alibaba segera bersembunyi karena takut dibunuh jika
para penyamun melihatnya. Dari tempat persembunyiannya, Alibaba memperhatikan
para penyamun sedang sibuk menurunkan harta rampokannya dari kuda mereka.
Kepala penyamun tiba-tiba berteriak, "Alakazam ! Buka…..". Pintu gua
yang ada di depan mereka tiba-tiba terbuka perlahan-lahan. Setelah itu mereka
segera memasukkan seluruh harta rampokan mereka. "Alakazam ! tutup… "
teriak kepala penyamun, pintu gua pun tertutup.
Setelah
para penyamun tersebut pergi, Alibaba memberanikan diri keluar dari tempat
sembunyinya. Ia mendekati pintu gua tersebut dan meniru teriakan kepala
penyamun tadi. "Alakazam! Buka….." pintu gua yang terbuat dari batu
itu terbuka. "Wah… Hebat!", teriak Alibaba sambil terpana sebentar
karena melihat harta yang bertumpuk-tumpuk seperti gunung. "Gunungan harta
ini akan Aku ambil sedikit, semoga aku tak miskin lagi, dan aku akan membantu
tetanggaku yang kesusahan". Setelah mengarungkan harta dan emas tersebut,
Alibaba segera pulang setelah sebelumnya menutup pintu gua. Istri Alibaba
sangat terkejut melihat barang yang dibawa Alibaba. Alibaba kemudian bercerita
pada istrinya apa yang baru saja dialaminya. "Uang ini sangat banyak…
bagaimana jika kita bagikan kepada orang-orang yang kesusahan.." ujar
istri Alibaba. Karena terlalu banyak, uang emas tersebut tidak dapat dihitung
Alibaba dan istrinya. Akhirnya mereka sepakat untuk meminjam timbangan kepada
saudaranya, Kasim. Istri Alibaba segera pergi meminjam timbangan kepada istri
Kasim. Karena istri Kasim sangat pencuriga, maka ia mengoleskan minyak yang
sangat lengket di dasar timbangan.
Keesokannnya,
setelah timbangan dikembalikan, ternyata di dasar timangan ada sesuatu yang
berkilau. Istri Kasim segera memanggil suaminya dan memberitahu suaminya bahwa
di dasar timbangan ada uang emas yang melekat. Kasim segera pergi ke rumah
Alibaba untuk menanyakan hal tersebut. Setelah semuanya diceritakan Alibaba,
Kasim segera kembali kerumahnya untuk mempersiapkan kuda-kudanya. Ia pergi ke
gua harta dengan membawa 20 ekor keledai. Setibanya di depan gua, ia berteriak
"Alakazam ! Buka…", pintu batu gua bergerak terbuka. Kasim segera
masuk dan langsung mengarungkan emas dan harta yang ada didalam gua
sebanyak-banyaknya. Ketika ia hendak keluar, Kasim lupa mantra untuk membuka
pintu, ia berteriak apa saja dan mulai ketakutan. Tiba-tiba pintu gua bergerak,
Kasim merasa lega. Tapi ketika ia mau keluar, para penyamun sudah berada di
luar, mereka sama-sama terkejut. "Hei maling! Tangkap dia, bunuh!"
teriak kepala penyamun. "Tolong… saya jangan dibunuh", mohon Kasim.
Para penyamun yang kejam tidak memberi ampun kepada Kasim. Ia segera dibunuh.
Istri
Kasim yang menunggu di rumah mulai kuatir karena sudah seharian Kasim tidak
kunjung pulang. Akhirnya ia meminta bantuan Alibaba untuk menyusul saudaranya
tersebut. Alibaba segera pergi ke gua harta.
Disana
ia sangat terkejut karena mendapati tubuh kakaknya sudah tergeletak di tanah.
Setibanya dirumah, istri Kasim menangis sejadi-jadinya. Dia sangat sedih karena
suaminya sudah meninggal dunia. Sebelum Kasim dimakamkan, Alibaba membawa tubuh
kakaknya itu ke tabib. Alibaba meminta tabib itu menjahit luka di tubuh
kakaknya. Setelah selesai menjahit, Alibaba memberikan upah beberapa uang emas.
Dilain
tempat, di gua harta, para penyamun terkejut, karena mayat Kasim sudah tidak
ada lagi. "Tak salah lagi, pasti ada orang lain yang tahu tentang rahasia
gua ini, ayo kita cari dan bunuh dia!" kata sang kepala penyamun.
Merekapun mulai berkeliling pelosok kota. Ketika bertemu dengan seorang tabib,
mereka bertanya,"Apakah akhir-akhir ini ada orang yang kaya mendadak
?". "Akulah orang itu, karena setelah menjahit luka mayat, aku
menjadi orang kaya". "Apa! Mayat! Siapa yang memintamu melakukan
itu?" Tanya mereka. "Tolong antarkan kami padanya!". Setelah
menerima uang dari penyamun, si tabib lalu mengantar mereka ke rumah Alibaba.
Si penyamun segera memberi tanda silang dipintu rumah Alibaba. "Aku akan
melaporkan pada ketua, dan nanti malam kami akan datang untuk
membunuhnya," kata si penyamun. Tetangga Alibaba, Morijana yang baru
pulang berbelanja melihat dan mendengar percakapan para penyamun.
Malam
harinya, Alibaba didatangi seorang penyamun yang menyamar menjadi seorang
pedagang minyak yang kemalaman dan memohon untuk menginap sehari dirumahnya.
Alibaba yang baik hati mempersilakan tamunya masuk dan memperlakukannya dengan
baik. Ia tidak mengenali wajah si kepala penyamun. Morijana, tetangga Alibaba
yang sedang berada diluar rumah, melihat dan mengenali wajah penyamun tersebut.
Ia berpikir keras bagaimana cara untuk memberitahu Alibaba. Akhirnya ia
mempunyai ide, dengan menyamar sebagai seorang penari. Ia pergi kerumah Alibaba
untuk menari. Ketika Alibaba, istri dan tamunya sedang menonton tarian, Morijana
dengan cepat melemparkan pedang kecil yang sengaja diselipkannya dibajunya ke
dada tamu Alibaba.
Alibaba
dan istrinya sangat terkejut, sebelum Alibaba bertanya, Morijana membuka
samarannya dan segera menceritakan semua yang telah dilihat dan didengarnya.
"Morijana, engkau telah menyelamatkan nyawa kami, terima kasih".
Setelah semuanya berlalu, Alibaba membagikan uang peninggalan para penyamun
kepada orang-orang miskin dan yang sangat memerlukannya.
Jack dan Pohon Kacang
Di
sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak laki-laki yang bernama Jack. Ia
tinggal di rumah dengan ibunya. Hidup mereka sangat memprihatinkan, dan harta
yang mereka miliki hanyalah seekor sapi tua yang produksi susunya mulai
berkurang. Hingga suatu hari, ibu menyuruh Jack pergi ke pasar untuk menjual
sapi mereka satu-satunya itu. Uang hasil penjualan sapi tersebut nantinya akan
digunakan untuk membeli biji gandum dan kemudian akan menanamnya di ladang
belakang rumah mereka.
Keesokan
harinya, Jack pergi ke pasar untuk menjual sapinya. Di tengah perjalanan menuju
ke pasar, Jack bertemu dengan seorang kakek. Kakek tersebut lalu menyapa Jack.
“Hai nak, mau dibawa kemana sapi itu?” Lalu Jack menjawab,”Aku mau menjual sapi
ini ke pasar Kek”. Setelah mendengar jawaban Jack, kakek itu lalu menawarkan
untuk menukar sapinya dengan sebutir kacang. “Maukah engkau menukar sapimu
dengan kacang ajaib ini?", kata kakek itu. "Apa, menukar sebutir
kacang dengan sapiku?" kata Jack terkejut. "Jangan menghina, ya! Ini
adalah kacang ajaib. Jika kau menanamnya dan membiarkannya semalam, maka pagi
harinya kacang ini akan tumbuh sampai ke langit, kata kakek itu menjelaskan.
"Jika begitu baiklah," jawab Jack.
Sesampainya
di rumah, Jack menceritakan semuanya kepada ibunya. Setelah mendengar cerita
Jack, ibu sangat terkejut dan marah. "Bagaimana bisa kau tukar sapi itu
dengan sebutir biji kacang ini? Bagaimana mungkin kita hidup hanya dengan
sebutir biji kacang?" Saking marahnya, sang Ibu melempar biji kacang
tersebut keluar jendela. Tapi apa yang terjadi keesokan harinya? Ternyata ada
pohon raksasa yang tumbuh sampai mencapai langit. "Wah, ternyata benar apa
yang dikatakan oleh kakek itu, gumam Jack". Lalu dengan hati-hati ia
langsung memanjat pohon raksasa itu. "Aduh, mengapa tidak sampai juga ke
ujung pohon ya?" kata Jack dalam hati.
Tidak
berapa lama kemudian, Jack melihat ke bawah. Ia melihat rumah-rumah menjadi
sangat kecil. Akhirnya Jack sampai ke awan. Di sana ia bisa melihat sebuah
istana yang sangat besar sekali. "Aku haus dan lapar, mungkin di istana itu
aku menemukan makanan," gumam Jack. Sesampainya di depan pintu istana, ia
mengetuknya dengan keras. "Kriek..." pintu yang besar itu terbuka.
Ketika ia menengadah, muncul seorang raksasa wanita yang besar. "Ada apa
nak?", kata wanita itu. "Selamat pagi, saya haus dan lapar, bolehkah
saya minta sedikit makanan?" Wah, kau anak yang sopan sekali. Masuklah!
Makan di dalam saja, ya!" kata wanita itu ramah.
Ketika
sedang makan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang keras, Duk Duk!
Ternyata suami wanita itu yang datang. Ia adalah Raksasa Pemakan Manusia.
Dengan cepat wanita itu berkata pada Jack. "Nak, cepatlah sembunyi!
Suamiku datang." "Huaaa…. Aku pulang. Cepat siapkan makan!"
teriak raksasa itu. Jack menahan nafas di dalam tungku. Raksasa itu tiba-tiba
mencium bau manusia. Lalu ia mengintip ke dalam tungku. Cepat-cepat istrinya
berkata,"Itu bau manusia yang kita bakar kemarin. Sudahlah tenang saja.
Ini makanannya sudah siap."
Setelah
makan, raksasa mengeluarkan pundi-pundi yang berisi uang emas curiannya,
setelah lama menghitung dia merasa sangat capek. Tak berapa lama kemudian
raksasa itu akhirnya tertidur karena lelah. Melihat hal itu, Jack segera keluar
dari persembunyiannya. Sebelum pulang, ia mengambil uang emas hasil curian si
raksasa itu sambil berjalan mengendap-endap menuju pohon kacang. Jack terus
menuruni pohon kacang dan akhirnya sampai di rumah. "Ibu… lihatlah emas
ini. Mulai sekarang kita jadi orang
kaya." "Tak mungkin kau mendapat uang sebanyak ini dengan mudah. Apa
yang kamu lakukan?" Lalu Jack menceritakan semua kejadian pada ibunya.
"Kau terlalu berani Jack! Bagaimana jika raksasa itu datang untuk
mengambilnya kembali," kata ibunya dengan kuatir.
Semenjak
mendapatkan uang emas, tiap harinya Jack hanya bersantai-santai saja dengan
uang curiannya. Tidak berapa lama, uang hasil curiannya pun habis. Jack kembali
memanjat pohon kacang, untuk menuju ke istana. "Eh kau datang lagi. Ada
apa?" kata istri raksasa itu. "Selamat siang Bu. Karena saya belum
makan dari pagi, perutku jadi lapar sekali." Ibu yang baik itu diam saja,
tapi ia tetap memberi Jack makan siang. Tiba-tiba…. Duk Duk Duk! Terdengar
suara langkah kaki raksasa. Seperti dulu, Jack kembali bersembunyi di tungku.
Setelah
masuk ke rumahnya, raksasa itu makan dengan lahapnya. Setelah itu ia meletakkan
ayam hasil curiannya ke atas meja sambil berkata, "Ayam, keluarkan telur
emasmu." Lalu ayam itu berkokok, "kukuruyuuk….," ia mengeluarkan
sebutir telur emas. Raksasa merasa puas, ia minum sake sampai akhirnya
tertidur. "Telur emas? Wah hebat!" pikir Jack. Diam-diam ia menangkap
ayam itu dan cepat-cepat lari pulang ke rumah. Dengan ayam petelur emasnya,
Jack menjadi orang yang malas dan suka bersantai-santai saja. Karena tiap hari
ayam itu mengeluarkan telur lebih dari seharusnya, ayam itu pun akhirnya mati.
Jack merasa bingung, karena persediaan duitnya kian menipis. Akhirnya Jack
memutuskan untuk kembali lagi ke istana raksasa itu. Dan lagi-lagi ia
bersembunyi di tungku, ketika raksasa laki-laki pulang sambil membawa harpa.
Sambil minum sake, raksasa berkata," Hai harpa, mainkan sebuah melodi yang
indah." Keajaiban pun terjadi, harpa itu memainkan sendiri sebuah melodi
indah. Raksasa pun mulai tertidur dengan pulas setelah mendengarkan merdunya
musik yang dimainkan harpa itu.
Seperti
biasanya, Jack mulai beraksi pada saat raksasa tertidur. Jack lalu keluar dari
persembunyiannya, dan langsung menuju meja tempat harpa diletakkan. Tapi saat
Jack akan mengambil harpa, tiba-tiba saja ada sesuatu yang mengejutkan. Harpa
itu berteriak dengan keras, “Tuanku, ada pencuri…!!!” Raksasa itu pun
terbangun. Ia segera mengejar Jack yang berlari sambil membawa harpa milik
raksasa itu. Raksasa terus mengejar, menuruni pohon kacang. Ketika hampir
sampai di bawah, Jack berteriak dengan suara keras. "Ibuu…. Ambilkan kapak
dari gudang! cepat! cepat! Betapa terkejutnya sang Ibu melihat sosok raksasa
yang datang mengejar Jack, ia gemetar karena amat takut. Begitu turun dari
pohon, Jack segera menebang pohon kacang itu dengan kapaknya.
Dengan
suara yang keras, pohon kacang rubuh. Raksasa itu pun jatuh ke tanah, dan mati.
Ibu sangat lega melihat Jack selamat. Sambil mengangis ia berkata : "Jack,
jangan lagi kau melakukan hal yang menyeramkan seperti ini. Betapapun miskinnya
kita bekerjalah dengan sungguh-sungguh. Dengan bersyukur kepada Tuhan, pasti
kita berdua akan hidup dengan baik." "Maafkan saya Ibu, mulai
sekarang saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh, kata Jack pada Ibunya."
Sejak saat itu, Jack bekerja dengan rajin setiap harinya. Dengan ditemani harpa
yang memainkan melodi-melodi indah yang menambah semangat kerja Jack.
Aladin dan lampu ajaib
Aladin adalah seorang laki-laki yang berasal dari
Negara Persia. Dia tinggal berdua dengan ibunya. Mereka hidup dalam
kesederhanaan. Hingga pada suatu hari ada seorang laki-laki yang datang kerumah
Aladin. Laki-laki itu berkata kalau dia adalah saudara laki-laki almarhum
bapaknya yang sudah lama merantau ke Negara tetangga. Aladin dan ibunya sangat
senang sekali, karena ternyata mereka masih memiliki saudara.
“Malang sekali nasibmu
saudaraku”, kata laki-laki itu kepada aladin dan ibunya. “Yang penting kita
masih bisa makan,paman”, jawab Aladin. Karena merasa prihatin dengan keadaan
saudaranya tersebut, maka laki-laki itu bermaksud untuk mengajak Aladin ke luar
kota. Dengan seijin ibunya,lalu Aladin mengikuti pamannya pergi ke luar kota.
Perjalanan yang mereka tempuh
sangat jauh sekali, dan pamannya tidak mengijinkan Aladin untuk beristirahat.
Saat Aladin meminta pamannya untuk berhenti sejenak, pamannya langsung
memarahinya. Hingga akhirnya mereka sampai di suatu tempat di tengah hutan.
Aladin lalu diperintahkan pamannya untuk mencari kayu bakar. “Nanti ya paman,
Aladin mau istirahat dulu”, kata Aladin. Pamannya sangat marah setelah
mendengar jawaban Aladin tersebut. “Berangkatlah sekarang, atau kusihir engkau
menjadi katak”, teriak pamannya. Melihat pamannya sangat marah,lalu Aladin
bergegas berangkat mencari kayu.
Setelah mendapatkan kayu,
pamannya lalu membuat api dan mengucapkan mantera. Aladin sangat terkejut
sekali, karena setelah pamannya membacakan mantera, tiba-tiba tanah menjadi
retak dan membentuk lubang. Aladin mulai bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah
dia benar pamanku? Atau dia hanya seorang penyihir yang ingin memanfaatkan aku
saja?”
“Aladin, turunlah kamu
kelubang itu. Ambilkan aku lampu antic di dasar gua itu”, suruh pamannya. “AKu
takut paman”, kata Aladin. Pamannya lalu memberikan cincin kepada Aladin.
“Pakailah ini, cincin ini akan melindungimu”, kata pamannya. Kemudian Aladin
mulai turun kebawah.
Setelah
sampai di bawah, Aladin sangat takjub dengan apa yang dia lihat. Di dasar gua
tersebut Aladin menemukan pohon yang berbuahkan permata dan banyak sekali
perhiasan. “Cepat kau bawa lampu antiknya padaku, Aladin. Jangan perdulikan
yang lain”, teriak pamannya dari atas. Aladin lalu mengambil lampu antik itu,
dan mulaimemanjat ke atas. Tetapi setelah hamper sampai di atas, Aladin melihat
pintu gua sudah tertutup dan hanya terbuka sedikit. Aladin mulai berpikir kalau
pamannya akan menjebaknya. “Cepat Aladin, lemparkan saja lampunya”, teriak
pamannya. “Tidak, aku tidak akan memberikanlampu ini, sebelum aku sampai di
atas”,jawab Aladin.
Setelah berdebat, paman
Aladin menjadi tidak sabar dan akhirnya "Brak!" pintu lubang ditutup,
dan pamannya meninggalkan Aladin terkurung di dalam lubang bawah tanah. Aladin
menjadi sedih, dan duduk termenung. Kini dia tau kalau sebenarnya laki-laki tersebut
bukanlah pamannya, dan dia hanya diperalat oleh laki-laki itu. Aladin
lalubmencari segala cara supaya dapat keluar dari gua, tetapi usahanya selalu
sia-sia. "Aku sangat lapar, dan ingin bertemu ibuku, ya Tuhan, tolonglah
hambamu ini !", ucap Aladin.Sambil berdoa, Aladin mengusap-usap lampu
antik dan berpikir kenapa laki-laki penyihir itu ingin sekali memiliki lampu
itu. Setelah digosok-gosok, tiba-tiba di sekelilingnya menjadi merah dan asap
membumbung. Bersamaan dengan itu muncul seorang raksasa. Aladin sangat
ketakutan.
"Maafkan saya, karena
telah mengagetkan Tuan", saya adalah Jin penunggu lampu. Apa perintah tuan
padaku?”, kata raksasa "Oh, kalau begitu bawalah aku pulang kerumah."
"Baik Tuan, naiklah kepunggungku, kita akan segera pergi dari sini",
kata Jin lampu. Dalam waktu singkat, Aladin sudah sampai di depan rumahnya.
"Kalau tuan memerlukan saya, panggillah saya dengan menggosok lampu
itu".
Aladin menceritakan semua hal
yang di alaminya kepada ibunya. "Mengapa penyihir itu menginginkan lampu
kotor ini ya ?", kata Ibu Aladin. “Ini adalah lampu ajaib Bu!”, jawab
Aladin. Karena ibunya tidak percaya, maka Aladin lalu menggosok lampu itu. Dan
setelah Jin lampu keluar, Aladin meminta untuk disiapkan makanan yang
enak-enak. Taklama kemudian ibunya terkejur,karena hidangan yang sangat lezat
sudah tersedia di depan mata.
Demikian hari, bulan,
tahunpun berganti, Aladin hidup bahagia dengan ibunya. Aladin sekarang sudah
menjadi seorang pemuda. Suatu hari lewat seorang Putri Raja di depan rumahnya.
Ia sangat terpesona dan merasa jatuh cinta kepada Putri Cantik itu. Aladin lalu
menceritakan keinginannya kepada ibunya untuk memperistri putri raja.
"Tenang
Aladin, Ibu akan mengusahakannya". Ibu pergi ke istana raja dengan membawa
permata-permata kepunyaan Aladin. "Baginda, ini adalah hadiah untuk
Baginda dari anak laki-lakiku." Raja amat senang. "Wah..., anakmu
pasti seorang pangeran yang tampan, besok aku akan datang ke Istana kalian
dengan membawa serta putriku". Setelah tiba di rumah Ibu segera menggosok
lampu dan meminta Jin lampu untuk membawakan sebuah istana. Aladin dan ibunya
menunggu di atas bukit. Tak lama kemudian jin lampu datang dengan Istana megah
di punggungnya. "Tuan, ini Istananya". Esok hari sang Raja dan
putrinya datang berkunjung ke Istana Aladin yang sangat megah. "Maukah
engkau menjadikan anakku sebagai istrimu ?", Tanya sang Raja. Aladin
sangat gembira mendengarnya. Lalu mereka berdua melaksanakan pesta pernikahan.
Tidak disangka, ternyata si
penyihir ternyata melihat semua kejadian itu melalui bola kristalnya. Ia lalu
pergi ke tempat Aladin dan pura-pura menjadi seorang penjual lampu di depan
Istana Aladin. Ia berteriak-teriak, "tukarkan lampu lama anda dengan lampu
baru !". Sang permaisuri yang melihat lampu ajaib Aladin yang usang segera
keluar dan menukarkannya dengan lampu baru. Segera si penyihir menggosok lampu
itu dan memerintahkan jin lampu memboyong istana beserta isinya dan istri
Aladin ke rumahnya.
Ketika Aladin pulang dari
berkeliling, ia sangat terkejut karena istananya hilang. Aladin lalu teringat
dengan cincin pemberian laki-laki penyihir. Digosoknya cincin tersebut, dan
keluarlah Jin cincin. Aladin bertanya kepada Jin cincin tentang apa yang sudah
terjadi dengan istananya. Jin Cincin kemudian menceritakan semuanya kepada
Aladin. "Kalau begitu tolong bawakan istana dan istriku kembali lagi
kepadaku”, seru Aladin. "Maaf Tuan, kekuatan saya tidaklah sebesar Jin
lampu," kata Jin cincin. "Kalau begitu, Tolong Antarkan aku ke tempat
penyihir itu. Aku akan ambil sendiri", seru Aladin. Sesampainya di Istana,
Aladin menyelinap masuk mencari kamar tempat sang Putri dikurung. Putri lalu
bilang kalau penyihir itu sedang tidur karena kebanyakan minum Bir. Setelah
mengetahui kalau penyihir itu tidur, maka Aladin menyelinap ke dalam kamar
laki-laki penyihir tersebut.
Setelah berhasil masuk dalam
kamar, Aladin lalu mengambil lampu ajaibnya yang penyihir dan segera
menggosoknya. "Singkirkan penjahat ini", seru Aladin kepada Jin
lampu. Penyihir terbangun, lalu menyerang Aladin. Tetapi Jin lampu langsung
membanting penyihir itu dan melemparkan ke luar istana. "Terima kasih Jin
lampu, bawalah kami dan Istana ini kembali ke tempatnya semula".
Sesampainya di Persia Aladin hidup bahagia. Ia mempergunakan sihir dari peri
lampu untuk membantu orang-orang miskin dan kesusahan.
CINDERELA
Di sebuah rumah, hiduplah seorang
anak yang sangat cantik dan baik hati. Dia diberi nama Cinderela oleh kedua
kakak tirinya. Kakak tiri Cindera itu sangat tidak suka dengan Cinderela. Tiap
hari Cinderela selalu mendapatkan perlakuan yang kasar dari kedua kakak dan ibu
tirinya. Dia selalu disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah dan selalu
dibentak-bentak.
Hingga pada suatu hari,
datanglah pegawai kerajaan ke rumah mereka. Pegawai kerajaan teresebut ternyata
membawa undangan pesta dari sang raja. Kedua kakak dan ibu tiri Cinderala
bersorak kegirangan. “Horeeee….. besok kita akan pergi ke Istana. Aku akan
berdandan secantik mungkin, agar pangeran suka denganku”, teriak kedua kakak
Cinderela. Mendengar teriakan kakak-kakaknya tersebut, lalu Cinderela meminta
ijin pada ibu tirinya untuk ikut dalam pesta tersebut. Cinderela sangat sedih,
karena ibu tiri dan kakak-kakak tirinya tidak mengijinkan dia ikut dalam acara
itu. “Kamu mau pakai baju apa Cinderela? Apa kamu mau ke pesta dengan baju
kumalmu itu?”, teriak kakaknya.
Akhirnya waktu pelaksanaan
pesta sudah tiba, semuanya sudah berdandan dengan cantik dan sudah siap
berangkat. Cinderela hanya bisa memandangi kakak dan ibu tirinya. Dia sangat
sedih sekali,karena tidak dapat ikut dalam pesta itu. Dia hanya bisa menangis
di dalam kamar dan membayangkan meriahnya pesta tersebut. “Andaikan aku bisa
ikut dalam pesta itu, pasti aku akan senang sekali”, gumam Cindera. Tidak
berapa lama setelah Cinderela berkata, tiba-tiba ada suara dari belakangnya.
“Janganlah engkau menangis Cinderela”. Mendengar suara itu, lalu Cinderela
berbalik. Ternyata dia melihat ada seorang peri yang sedang tersenyum padanya. “Kamu
pasti bisa datang ke pesta itu Cinderela”, kata peri itu. “Bagaimana caranya?
Aku tidak punya baju pesta dan saudara-saudaraku juga sudah berangkat.”, tanya
Cinderela pada peri itu.
“Tenanglah Cinderela, bawalah
empat ekor tikus dan dua ekor kadal kepadaku", kata peri itu. Setelah
semuanya dikumpulkan Cinderela, peri membawa tikus dan kadal tersebut ke kebun
labu di halaman belakang. "Sim salabim!" sambil menebar sihirnya,
terjadilah suatu keajaiban. Tikus-tikus berubah menjadi empat ekor kuda, serta
kadal-kadal berubah menjadi dua orang sais. Cinderela pun disulap menjadi Putri
yang sangat cantik, dengan memakai gaun yang sangat indah dan sepatu kaca.
"Cinderela, pengaruh
sihir ini akan lenyap setelah lonceng pukul dua belas malam, jadi kamu harus
pulang sebelum pukul dua belas”,kata peri itu. "Ya ibu peri.
Terimakasih", jawab Cinderela. Setelah semuanya sudah siap, kereta kuda
emas segera berangkat membawa Cinderela menuju istana. Setelah tiba di istana,
ia langsung masuk ke aula istana. Begitu masuk, pandangan semua yang hadir
tertuju pada Cinderela. Mereka sangat kagum dengan kecantikan Cinderela.
"Cantik sekali putri itu! Putri dari negara mana ya ?" Tanya mereka.
Akhirnya sang Pangeran datang
menghampiri Cinderela. "Putri yang cantik, maukah Anda menari dengan saya
?" katanya. "Ya…," kata Cinderela sambil mengulurkan tangannya
sambil tersenyum. Mereka menari berdua dalam irama yang pelan. Ibu dan kedua
kakak Cinderela yang berada di situ tidak menyangka kalau putri yang cantik itu
adalah Cinderela. Pangeran terus berdansa dengan Cinderela. "Orang seperti
andalah yang saya idamkan selama ini," kata sang Pangeran.
Karena terlalu senang dan
menikmati pesta itu, Cinderela lupa akan waktu. Jam mulai berdentang 12 kali.
"Maaf Pangeran saya harus segera pulang..,". Cinderela menarik
tangannya dari genggaman pangeran dan segera berlari ke luar Istana. Di tengah
jalan, Cinderela terjatuh dan sepatunya terlepas sebelah, tapi Cinderela tidak
memperdulikannya, ia terus berlari. Pangeran mengejar Cinderela, tetapi ia
kehilangan jejak Cinderela. Di tengah anak tangga, ada sebuah sepatu kaca
kepunyaan Cinderela. Pangeran mengambil sepatu itu. "Aku akan
mencarimu," katanya bertekad dalam hati. Meskipun Cinderela kembali
menjadi gadis yang penuh berpakaian tidak bagus lagi, ia amat bahagia karena
bisa pergi pesta.
Esok harinya, para pengawal
yang dikirim Pangeran datang ke rumah-rumah yang ada anak gadisnya di seluruh
pelosok negeri untuk mencocokkan sepatu kaca dengan kaki mereka, tetapi tidak
ada yang cocok. Sampai akhirnya para pengawal tiba di rumah Cinderela.
"Kami mencari gadis yang kakinya cocok dengan sepatu kaca ini," kata
para pengawal. Kedua kakak Cinderela mencoba sepatu tersebut, tapi kaki mereka
terlalu besar. Mereka tetap memaksa kakinya dimasukkan ke sepatu kaca sampai
lecet.
Pada saat itu, pengawal
melihat Cinderela. "Hai kamu, cobalah sepatu ini," katanya. Ibu tiri
Cinderela menjadi marah," tidak akan cocok dengan anak ini!".
Kemudian Cinderela menjulurkan kakinya. Ternyata sepatu tersebut sangat cocok.
"Ah! Andalah Putri itu," seru pengawal gembira. "Iya akulah
wanita yang dicari pangeran”,kata Cinderela. “Selamat Cinderela!” Mendengar
kata itu, Cinderela lalu menoleh kebelakang, dan dilihatnya ibu peri sudah
berada di belakangnya. "Mulai sekarang hiduplah berbahagia dengan Pangeran
di istana. Sim salabim!.," katanya peri tersebut.
Begitu peri membaca
mantranya, Cinderela berubah menjadi seorang Putri yang memakai gaun yang
sangat bagus. "Pengaruh sihir ini tidak akan hilang sampai kapanpun
Cinderela”, kata sang peri. Cinderela kemudian dibawa oleh pengawal istana
untuk bertemu dengan sang pangeran. Sesampainya di Istana, Pangeran sangat
senang sekali,dan menyambut kedatangan Cinderela. Akhirnya Cinderela menikah
dengan Pangeran dan hidup berbahagia di dalam Istana.
KUCING YANG
TERLUPAKAN
Di
sebuah perumahan, hiduplah seekor kucing berwarna hitam. Nama kucing itu Molly.
Ia tinggal di rumah keluarga Jones. Molly selalu memburu dan memakan
tikus-tikus yang suka mencuri makanan di dapur keluarga Jones.
Molly
memang seekor kucing yang lucu dan menggemaskan. Matanya berwarna hijau dan
kumisnya panjang berwarna putih. Ia suka mendengkur dan sangat senang bila
tubuhnya dibelai.
Namun,
tidak seorang pun di keluarga Jones suka membelai Molly. Kedua anak di keluarga
Jones kurang menyukai binatang, sedang nyonya Jones sering membentak Molly jika
ia mengeong waktu nyonya Jones sedang memasak ikan.
Di
samping rumah keluarga Jones, hiduplah seorang anak bernama Billy. Billy adalah
anak yang baik dan sangat menyayangi binatang. Karena itu ia juga sangat
menyayangi Molly. Setiap sore Molly melompat dari pagar keluarga Jones untuk
mencari Billy dan minta dibelai.
“Alangkah senangnya aku jika Molly ini
kucingku,” kata Billy kepada ibunya. “Aku ingin memelihara kucing juga, bu!”
Tetapi ibu Billy tidak ingin memelihara binatang di rumahnya, walaupun
sebenarnya ia juga suka kepada Molly.
Pada
suatu hari kuarga Jones pergi ke luar kota. Saat hendak berangkat, anak-anak
keluarga Jones berpamitan kepada Billy. Rupanya mereka hendak pergi berlibur
selama sebulan.
Setelah
memasukkan semua barang ke dalam taksi, keluarga Jones berangkat. “Molly pasti
diajak juga,” pikir Billy. Namun ia keliru. Ia sangat terkejut saat melihat
Molly masih ada di halaman rumah keluarga Jones. Billy lalu menceritakan hal
itu kepada ibunya. “Pasti ada orang yang diberi tugas untuk merawat dan memberi
makan Molly setiap hari,” kata ibu Billy.
Molly
bertanya-tanya ke mana tuannya pergi. Setelah lama menunggu ia menggaruk-garuk
pintu dapur dengan cakarnya berharap dibukakan pintu. Tetapi tampaknya tidak
ada orang di dalam rumah. Molly lalu memeriksa kalau-kalau ada jendela yang
terbuka sehingga ia bisa masuk, tapi ternyata semua jendela terkunci
rapat.
Molly
merasa kesepian. Tetapi ia berharap tuannya akan pulang nanti sore. Tetapi
setelah lama menunggu tuannya tidak juga pulang. Molly mulai merasa kelaparan.
Ia juga kedinginan karena harus tidur di luar. Walaupun bersembunyi di dalam
semak-semak, ia tetap basah karena kehujanan. Molly mulai sakit.
Dua
hari telah berlalu. Karena kelaparan Molly memakan tulang kering yang
ditemukannya dan juga daun-daun kering yang ada disekitar rumah. Penyakitnya
juga semakin parah. Ia bersin-bersin dan lemas.
Pada
hari keempat Molly sudah menjadi sangat kurus. Ia bahkan hampir tidak bisa
berjalan karena sangat lemah. Ia lalu teringat kepada Billy, anak yang tinggal
di rumah sebelah. Siapa tahu Billy bisa memberinya makanan.
Ia
lalu berjalan pelan menuju rumah Billy. Saat melihat Molly, Billy hampir tidak
mengenalinya lagi. “Astaga!, kaukah itu Molly?” seru Billy terkejut. Ia
berlutut dan membelai Molly. “Oh kasihan, kau sangat kurus, pasti kau
kelaparan. Apakah tidak ada orang yang diberi tugas untuk memberimu
makan?”
Billy
segera mengambilkan ikan dan susu untuk Molly. “Oh kasihan,” kata ibu Billy.
Untuk sementara biar saja ia tidur di dapur kita.”
Molly
sangat senang. Setelah makan dengan lahap, ia lalu tidur dengan nyenyak di
dapur ibu Billy. Billy bahkan memberinya tempat tidur dari kotak kayu. Billy
juga membersihkan badannya yang kotor karena beberapa hari tidur di
semak-semak.
Malamnya, Molly benar-benar
terkejut. Ternyata dapur ibu Billy banyak sekali tikusnya. Maka ia pun
menangkap tikus-tikus itu, karena ia ingin membalas kebaikan Billy dan ibunya.
Keesokan
harinya ibu Billy terkejut karena melihat banyak sekali tikus yang telah
ditangkap oleh Molly. Ibu Billy sangat senang. Molly pun menjadi semakin
disayang di keluarga itu.
Sebulan
kemudian, keluarga Jones pulang dari berlibur. Dengan berat hari Billy
mengantar Molly pulang ke rumah keluarga Jones. Tapi, setiap diantar pulang,
Molly selalu melarikan diri dan kembali ke rumah Billy. Molly tahu bahwa Billy
dan ibunya sangat menyayanginya, tidak seperti keluarga Jones yang tega
menelantarkannya.
Karena
keluarga Jones tidak terlalu memperdulikan Molly akhirnya mereka pun memberikan
kucing itu kepada Billy. Akhirnya Molly pun tinggal bersama Billy dan ibunya.
Ia sangat bahagia karena selalu disayang dan dibelai. Ibu Billy pun senang
karena dapurnya menjadi bebas dari gangguan tikus.
Ucapan Ajaib dari Peri
Dahulu, ada seorang janda yang memiliki dua anak
perempuan. Anak yang sulung angkuh dan pemarah seperti ibunya, sedangkan yang
bungsu manis dan lemah lembut.
Sang ibu sangat memanjakan anaksulung nya yang
memiliki sifat yang mirip dengannya, dan memperlakukan si bungsu dengan sangat
buruk. Si bungsu disuruhnya melakukan hamper semua pekerjaan di rumah. Salah
satu dari tugas si bungsu yang malang adalah berjalan kaki 1 kilometer jauhnya
ke sebuah mata air dan membawa pulang air dalam sebuah ember besar.
Pada suatu hari saat si bungsu sedang mengambil
air di mata air, seorang wanita tua datang dan meminta air untuk minum.
“Tunggu
sebentar, akan kuambilkan air yang bersih untuk Ibu,” kata si bungsu kepada
wanita tua itu. Diambilnya air yang paling jernih dan bersih, lalu diberikannya
kepada wanita tua itu dengan menggunakan teko air agar dapat dengan mudah
diminum.
Wanita tua yang sebenarnya adalah seorang peri itu
berkata, “Kamu sangat sopan dan suka menolong, jadi akan kuberikan keajaiban
untukmu. Setiap kata yang kamu ucapkan akan mengeluarkan sekuntum bunga, batu
permata, dan mutiara dari mulutmu.”
Si bungsu tidak mengerti maksud wanita tua itu. Ia
hanya tersenyum lalu berpamitan dan berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, ibunya memarahinya karena
terlalu lama membawakan air. Si bungsu meminta maaf kepada ibunya dan
menceritakan kejadian yang dia alami, bahwa ia menolong seorang wanita tua yang
kemudian memberinya keajaiban. Selama si bungsu bercerita, bunga-bunga, batu
permata dan mutiara terus berjatuhan keluar dari mulutnya.
“Kalau
begitu, aku harus menyuruh kakakmu pergi kesana.” Kata sang ibu. Lalu
disuruhnya si sulung untuk pergi ke mata air dan apabila bertemu dengan seorang
wanita tua, disuruhnya si sulung untuk bersikap baik dan menolongnya.
Si sulung yang malas tidak mau pergi berjalan kaki
sejauh itu. Namun dengan tegas, ibunya menyuruhnya pergi, “Pergi kesana
sekarang juga!!!” sambil menyelipkan wadah air dari perak ke dalam tas si
sulung.
Sambil menggerutu si sulung berjalan menuju mata
air. Saat tiba disana, ia berjumpa dengan wanita tua itu. Tapi kali ini wanita
tua itu berpakaian indah bagaikan seorang ratu. Lalu, wanita tua itu meminta
minum kepada si sulung.
“Apa kamu
kira aku datang sejauh ini hanya untuk memberimu minum? Dan jangan pikir kamu
bisa minum dari wadah air perakku. Kalau mau minum ambil saja sendiri di mata
air itu!” kata si sulung kepada wanita tua itu.
Karena sikapnya yang kasar, wanita tua yang
sebenarnya seorang peri itu mengutuknya. “Untuk setiap kata yang kamu ucapkan,
seekor katak atau ular akan berjatuhan keluar dari mulutmu!”
Saat tiba di rumah, si sulung menceritakan apa
yang dialaminya kepada ibunya. Saat bercerita, beberapa ekor ular dan katak
berjatuhan keluar dari mulutnya.
“Astaga!”,
teriak ibunya jijik. “Ini semua gara-gara adikmu. Di mana dia?”
Sang ibu lalu pergi mencari si bungsu. Karena
ketakutan, si bungsu lalu lari dan bersembunyi di hutan.
Seorang Pangeran yang sedang berburu terkejut
melihat seorang gadis yang sedang menangis sendirian di hutan. Ketika Pangeran
itu bertanya, dengan tersedu-sedu si bungsu menceritakan apa yang terjadi. Saat
bercerita, bunga-bunga, mutiara serta batu permata pun berjatuhan dari
mulutnya.
Pangeran jatuh hati kepada gadis yang baik itu.
Dan Pangeran juga tahu ayahnya tidak akan keberatan mendapatkan seorang menantu
yang baik seperti itu, apalagi dengan mutiara serta batu permata yang terus
dihasilkannya. Maka Pangeran pun membawa si bungsu ke istana, lalu mereka
menikah dan hidup berbahagia.
Sementara itu di rumah, sikap si sulung menjadi
semakin memuakkan, dan ia pun terus menerus mengeluarkan katak serta ular dari
mulutnya, sampai-sampai ibunya pun mengusirnya dari rumah.
Karena ia tidak tahu harus kemana dan tidak ada
seorangpun yang mau menampungnya karena sifatnya yang buruk, ditambah dengan
katak-katak dan ular-ular yang terus keluar dari mulutnya, maka akhirnya ia pun
tinggal sendirian di tengah hutan.
Puteri Tidur
Dahulu kala, ada sepasang Raja dan Ratu yang
berbahagia, karena setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya Ratu melahirkan
seorang Puteri.
Raja dan Ratu mengundang
tujuh peri untuk datang dan memberkati Puteri yang baru saja lahir itu.
Dalam acara megah yang
diselenggarakan sebagai penghormatan kepada para peri itu, masing-masing peri
memberikan berkat kepada sang Puteri.
Peri pertama mengatakan “Kamu akan menjadi Puteri
tercantik di dunia.”Peri kedua mengatakan “Kamu akan menjadi seorang Puteri
yang periang.”Peri ketiga mengatakan “Kamu akan selalu mendapatkan banyak kasih
sayang.”Peri keempat mengatakan “Kamu akan dapat menari dengan sangat
anggun.”Peri kelima mengatakan “Kamu akan dapat bernyanyi dengan sangat merdu.”
Peri keenam mengatakan
“Kamu akan sangat pintar memainkan alat musik.”
Tiba2 datang peri tua ke tengah acara itu. Ia
sangat marah karena tidak diundang. Semua orang memang sudah lama tidak pernah
melihat peri tua itu, dan mengira bahwa ia sudah meninggal atau pergi dari
kerajaan itu.
Peri tua yang marah itu mendekati sang Puteri dan
mengutuknya “Jarimu akan tertusuk jarum pintal dan kamu akan mati!” dan
kemudian peri tua itu pun menghilang.
Semua orang sangat terkejut. Ratu pun mulai
menangis.
Peri ketujuh mendekati
sang Puteri dan memberikan berkatnya “Aku tidak bisa membatalkan kutukan, tapi
aku dapat memberikan berkatku supaya Puteri tidak akan mati karena terkena
jarum pintal, melainkan hanya tertidur pulas selama seratus tahun. Setelah
seratus tahun, seorang Pangeran tampan akan datang untuk membangunkannya.”
Raja dan Ratu merasa sedikit lega mendengarnya.
Mereka lalu mengeluarkan peraturan baru bahwa di kerajaan itu tidak boleh ada
alat pintal satu pun. Mereka menyita dan menghancurkan semua alat pintal yang
ada di kerajaan itu demi selamatan sang Puteri. Pada suatu hari disaat
Puteri berusia 18 tahun, Raja dan Ratu pergi sepanjang hari.
Karena kesepian, sang Puteri berjalan-jalan
menjelajahi istana dan sampai di sebuah loteng. Disana ia menjumpai seorang
wanita tua yang sedang memintal benang menggunakan alat pintal. Karena
belum pernah melihat alat pintal, sang Puteri sangat tertarik dan ingin
mencoba.
Wanita tua itu sebenarnya adalah peri tua jahat
yang dulu mengutuknya. Saat sang Puteri mencoba alat pintal itu, ia pun dengan
sengaja menusukkan jarum pintal ke tangan sang Puteri.
Sang Puteri jatuh tak sadarkan diri dan tertidur
karena terkena kutukan. Peri tua jahat tertawa puas dan menghilang dalam
kegelapan.
Saat Raja dan Ratu kembali, mereka dan seluruh
pegawai kerajaan kebingungan mencari sang Puteri. Saat mereka menemukannya,
Raja tersadar bahwa kutukan peri tua jahat telah menjadi kenyataan. Sang Puteri
lalu dibawa ke kamarnya dan dibaringkan di tempat tidurnya. Raja lalu
mengirimkan kabar mengenai peristiwa itu ke peri ketujuh yang baik hati.
Peri ketujuh yang baik hati lalu bergegas ke
istana. Ia memutuskan untuk menidurkan semua orang di kerajaan itu supaya kelak
saat kutukan sang Puteri berakhir mereka semua akan bangun
bersama-sama.
Dalam waktu singkat pohon-pohon besar dan semak
belukar yang lebat dan berduri tumbuh di seluruh wilayah kerajaan, sehingga
sangat sulit bagi siapapun untuk menerobosnya. Bahkan puncak-puncak istana pun
hanya dapat terlihat ujungnya saja. Karena menjadi sangat tertutup, sang Puteri
dan seluruh kerajaan menjadi aman, walaupun mereka semua tertidur.
Setelah masa seratus tahun berakhir, seorang
Pangeran tampan yang kebetulan sedang berburu di dekat wilayah kerajaan itu
melihat pucuk-pucuk istana itu. Ia sudah banyak mendengar cerita tentang
kerajaan itu, antara lain tentang istana yang dianggap berhantu, para penyihir,
dan cerita-cerita lain yang sangat menyeramkan yang sebenarnya tidak
benar.
Karena penasaran, saat kembali dari berburu sang
Pangeran mencari orang tua yang paling bijaksana dan pintar di kerajaan untuk
menanyakan tentang kerajaan tetangga yang penuh misteri itu.
Orang tua yang bijaksana itu lalu bercerita bahwa
menurut leluhurnya, di dalam istana di kerajaan yang misterius itu terbaring
seorang Puteri yang paling cantik di dunia, yang tertidur karena terkena
kutukan dari peri tua jahat. Sang Puteri akan terus tidur hingga ada seorang
Pangeran yang datang untuk membangunkannya.
Pangeran tampan yang pemberani itu lalu bergegas
berangkat menuju kerajaan misterius itu. Ia berniat untuk menyelamatkan sang
Puteri. Sang Pangeran berjuang menembus semak belukar dan pepohonan untuk dapat
mencapai kedalam wilayah kerajaan yang misterius itu.
Sesampainya disana, ia melihat banyak sekali orang
dan hewan peliharaan yang terbaring dimana-mana. Tetapi mereka tidak mati,
sepertinya mereka hanya tertidur sangat nyenyak. Pangeran lalu masuk ke
dalam istana. Disana ia pun melihat seluruh pegawai kerajaan yang tertidur
pulas.
Setelah berjalan-jalan menjelajahi istana itu,
sang Pangeran berhasil menemukan sang Puteri di sebuah kamar. Sang Pangeran
terpesona oleh kecantikan sang Puteri. Pangeran pun berlutut dan memegang
tangan sang Puteri. Saat itulah kutukan berakhir dan sang Puteri membuka
matanya. Ia menyambut sang Pangeran yang telah lama ia tunggu dengan bahagia.
Dalam waktu yang bersamaan seluruh penghuni istana
dan seluruh kerajaan terbangun. Semak belukar dan pepohonan menghilang. Semua
orang kembali mengerjakan urusan mereka masing-masing. Raja dan Ratu juga
terbangun dan segera menyambut sang Pangeran dari kerajaan tetangga itu.
Tak lama kemudian, sang Puteri dan sang Pangeran
tampan menikah. Mereka lalu hidup berbahagia selamanya.
Raksasa Yang
Egois
Dahulu
kala, ada sebuah taman yang sangat luas dan cantik, milik seorang raksasa.
Taman itu sangat indah dengan rumput yang hijau dan lembut, bunga-bunga yang
cantik, dan puluhan pohon yang berbuah lebat. Setiap
siang, anak-anak masuk ke dalam taman itu untuk bermain dan mendengarkan
burung-burung berkicau merdu dari pohon-pohon.
Raksasa
sedang pergi selama 5 tahun mengunjungi keluarganya di negeri lain. Sekarang,
dia kembali ke rumahnya, sebuah rumah yang sangat besar dengan taman di
depannya. Saat tiba di taman, ia melihat anak-anak sedang bermain disana.
Raksasa lalu memarahi mereka, “Apa yang kalian lakukan disini? Pergi! Ini taman
milikku!” Anak-anak yang ketakutan berlari meninggalkan taman
itu.
Karena
tidak ingin ada orang lain yang ikut menikmati keindahan tamannya lagi, raksasa
lalu membangun tembok yang tinggi mengelilingi taman itu, dan memadang tulisan
“Yang masuk tanpa ijin akan dihukum!” Anak-anak kehilangan taman itu.
Sesekali mereka memanjat dan melongok melewati tembok yang tinggi, memandangi
taman itu dan dengan sedihnya membicarakan permainan-permainan yang dulu mereka
lakukan disana.
Hari
demi hari berlalu. Bunga-bunga di taman itu tidak lagi bermekaran.
Burung-burung tidak lagi berkicau dan pohon-pohon berhenti berbuah. Rumput dan
daun-daun yang dulunya subur dan hijau kini menjadi kering dan berwarna coklat.
Raksasa tidak mengerti mengapa taman miliknya menjadi tidak indah
lagi. Pada suatu pagi, raksasa mendengar
suara musik yang mengalun. Ternyata itu adalah suara kicauan burung di luar
jendelanya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia mendengar kicauan burung
yang indah seperti itu.
Raksasa
mendekat ke jendela dan mendengarkan kicauan burung itu dengan sedih. “Apa yang
terjadi dengan tamanku? Aku berharap tamanku bisa menjadi indah seperti dulu,
dengan burung-burung yang berkicau merdu seperti kamu.” kata raksasa kepada
burung itu. Burung itu terbang mendekati raksasa dan berkata “Tamanmu
tidak akan sama lagi tanpa kehadiran anak-anak itu. Tamanmu merindukan gelak
tawa dan suara anak-anak yang riang. Pohon, bunga-bunga, rumput, dan kami para
burung menginginkan kehadiran anak-anak yang menjadikan tempat ini kembali
penuh keceriaan.”
Raksasa
menyadari kesalahannya. Selama ini ia terlalu egois, dan akibatnya ia hidup
sendirian dan merasa kesepian. Raksasa pun mengambil palu besar dan
menghancurkan tembok yang mengelilingi tamannya. Dibuangnya tulisan peringatan
yang dipasangnya dulu, dan dipanggilnya anak-anak untuk bermain di taman.
Awalnya anak-anak merasa takut. Akan tetapi ketika mereka melihat wajah
raksasa yang sekarang menjadi ramah, mereka mengikutinya ke taman untuk bermain
disana. Lagipula, anak-anak itu juga rindu bermain di taman itu.
Taman
milik raksasa itu pun kembali penuh dengan anak-anak yang bermain gembira.
Bunga-bunga pun kembali bermekaran diantara rerumputan yang hijau. Daun-daun
dan buah-buahan memenuhi pohon-pohon, beserta burung-burung yang berkicau
dengan merdu.
Raksasa
berkata kepada anak-anak, “Sekarang, tamanku adalah taman milik kalian
juga.” Sekarang raksasa tidak hanya memiliki sebuah taman yang indah,
tetapi ia juga memiliki banyak teman-teman kecil yang ceria.
Raja Yang
Bodoh
Dahulu
kala, ada seorang raja yang pesolek dan sangat suka mengenakan baju-baju baru.
Dia banyak menghabiskan waktu hanya untuk memandangi dirinya sendiri di cermin,
dan selalu ingin mengenakan baju-baju baru di pagi, siang dan malam
hari!!
Pada
suatu hari, datanglah dua orang penipu yang menyamar sebagai pembuat baju yang
hebat. Mereka mengaku bahwa mereka pandai menenun dan membuat baju dengan
kualitas yang sangat bagus, sampai-sampai kain yang mereka pakai untuk membuat
baju tidak akan terlihat, kecuali oleh orang-orang pintar.
Ketika
raja mendengar hal itu, dia sangat tertarik. “Itu bagus, aku bisa tahu siapa
saja yang bodoh dan siapa saja yang pintar di kerajaan ini.”
Pikirnya. Raja segera memerintah kedua orang itu untuk membuatkan baju
baru untuk dirinya, menggunakan bahan kain istimewa itu. Mereka diberi sebuah
ruangan khusus di istana, beserta benang-benang emas yang mereka minta. Kedua
penipu itu menyembunyikan benang-benang emas yang mereka terima, kemudian
berpura-pura sedang bekerja keras untuk membuat sebuah baju.
Beberapa
hari kemudian, raja yang tidak sabar mengutus menteri nya untuk menengok baju
istimewa yang sedang dibuat itu. Ketika menteri mengunjungi para penipu yang
menyamar itu, ia pun kebingungan. “Aku tidak melihat apa pun disini” pikirnya.
Akan tetapi menteri itu tidak mau mengakuinya karena tidak ingin dianggap
bodoh. Maka ia pun memuji kedua penipu itu dan mengatakan bahwa baju yang
mereka buat sangat indah. Setelah menteri keluar dari ruangan itu, kedua penipu
tertawa terbahak-bahak.
Tak
lama kemudian sang raja datang untuk melihat sendiri. Dia berusaha melihat
keseluruh ruangan, tapi ia tidak melihat apa pun. Namun, karena tidak ingin
dianggap bodoh, raja pun berpura-pura bisa melihat baju yang istimewa itu dan
berkata, “Baju yang sangat indah, aku tidak sabar ingin segera memakainya”
Keesokan
harinya adalah hari dimana sang raja akan mengenakan baju barunya pada acara
pawai keliling kota. Kedua penipu yang menyamar telah berpamitan dan pergi
dengan alasan akan membuatkan baju untuk raja dari kerajaan-kerajaan lain.
Tentu saja, mereka tidak lupa membawa benang-benang emas yang telah mereka
sembunyikan, beserta uang emas upah membuat baju.
Saat
raja memakai baju barunya, ia tetap saja tidak bisa melihat baju itu, dan ia
merasa kedinginan. Tapi karena tidak ingin dibilang bodoh, raja pun
berputar-putar di depan cermin dan mengagumi baju barunya, walaupun ia tidak
melihat apa-apa. Semua pegawai kerajaan juga mengatakan bahwa baju baru itu
sangat indah, karena mereka juga tidak ingin dianggap bodoh.
Seluruh
rakyat telah mendengat bahwa raja akan mengenakan baju baru sang spesial hari
itu. Saat sang raja muncul, semuanya terkejut. Akan tetapi mereka juga telah
mendengar kabar bahwa baju baru yang spesial itu hanya dapat dilihat oleh orang
yang pintar saja, dan karena mereka tidak ingin dianggap bodoh, mereka pun
berseru-seru memuji sang raja.
Mendadak
terdengar suara anak kecil berteriak, “tetapi, dia kan tidak pakai baju, sang
raja telanjang!” Semua terdiam. Raja pun menyadari bahwa anak kecil itu
berkata jujur, dan dengan terburu-buru ia berjalan kembali ke istana.
Si Kancil dan Siput
Pada
suatu hari si kancil nampak ngantuk sekali. Matanya serasa berat sekali untuk
dibuka. “Aaa....rrrrgh”, si kancil nampak sesekali menguap. Karena hari itu
cukup cerah, si kancil merasa rugi jika menyia-nyiakannya. Ia mulai
berjalan-jalan menelusuri hutan untuk mengusir rasa kantuknya. Sampai di atas
sebuah bukit, si Kancil berteriak dengan sombongnya, “Wahai penduduk hutan,
akulah hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar di hutan ini. Tidak ada yang
bisa menandingi kecerdasan dan kepintaranku”.
Sambil
membusungkan dadanya, si Kancil pun mulai berjalan menuruni bukit. Ketika
sampai di sungai, ia bertemu dengan seekor siput. “Hai kancil !”, sapa si
siput. “Kenapa kamu teriak-teriak? Apakah kamu sedang bergembira?”, tanya si
siput. “Tidak, aku hanya ingin memberitahukan pada semua penghuni hutan kalau
aku ini hewan yang paling cerdas, cerdik dan pintar”, jawab si kancil dengan
sombongnya.
“Sombong sekali kamu Kancil, akulah
hewan yang paling cerdik di hutan ini”, kata si Siput. “Hahahaha......., mana
mungkin” ledek Kancil. “Untuk membuktikannya, bagaimana kalau besok pagi kita
lomba lari?”, tantang si Siput. “Baiklah, aku terima tantanganmu”, jawab si
Kancil. Akhirnya mereka berdua setuju untuk mengadakan perlombaan lari besok
pagi.
Setelah
si Kancil pergi, si siput segera mengumpulkan teman-temannya. Ia meminta tolong
agar teman-temannya berbaris dan bersembunyi di jalur perlombaan, dan menjawab
kalau si kancil memanggil.
Akhirnya
hari yang dinanti sudah tiba, kancil dan siput pun sudah siap untuk lomba lari.
“Apakah kau sudah siap untuk berlomba lari denganku”, tanya si kancil. “Tentu
saja sudah, dan aku pasti menang”, jawab si siput. Kemudian si siput
mempersilahkan kancil untuk berlari dahulu dan memanggilnya untuk memastikan
sudah sampai mana si siput.
Kancil
berjalan dengan santai, dan merasa yakin kalau dia akan menang. Setelah
beberapa langkah, si kancil mencoba untuk memanggil si siput. “Siput....sudah
sampai mana kamu?”, teriak si kancil. “Aku ada di depanmu!”, teriak si siput.
Kancil terheran-heran, dan segera mempercepat langkahnya. Kemudian ia memanggil
si siput lagi, dan si siput menjawab dengan kata yang sama.”Aku ada didepanmu!”
Akhirnya
si kancil berlari, tetapi tiap ia panggil si siput, ia selalu muncul dan
berkata kalau dia ada depan kancil. Keringatnya bercucuran, kakinya terasa
lemas dan nafasnya tersengal-sengal.
Kancil berlari terus, sampai
akhirnya dia melihat garis finish. Wajah kancil sangat gembira sekali, karena
waktu dia memanggil siput, sudah tidak ada jawaban lagi. Kancil merasa bahwa
dialah pemenang dari perlombaan lari itu.
Betapa
terkejutnya si kancil, karena dia melihat si siput sudah duduk di batu dekat
garis finish. “Hai kancil, kenapa kamu lama sekali? Aku sudah sampai dari
tadi!”, teriak si siput. Dengan menundukkan kepala, si kancil menghampiri si
siput dan mengakui kekalahannya. “Makanya jangan sombong, kamu memang cerdik
dan pandai, tetapi kamu bukanlah yang terpandai dan cerdik”, kata si siput.
“Iya, maafkan aku siput, aku tidak akan sombong lagi”, kata si kancil.
Dongeng asal mula duabelas shio
binatang
Pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang dewa.
Pada tanggal 31 Desember pagi sebelum tahun baru, Sang Dewa menulis surat
kepada binatang2 diseluruh negeri. Angin lalu menyebarkan surat-surat itu ke
seluruh negeri.
Dalam sekejap, para binatang menerima surat2 itu,
yang isinya seperti ini:
"Besok pagi di
Tahun Baru, aku akan memilih binatang yang paling dahulu datang kesini, dari
nomor satu sampai dengan nomor duabelas. Lalu, setiap tahun aku akan mengangkat
satu-persatu dari mereka sebagai Jenderal berdasarkan urutan". Tertanda,
Dewa.
Para bintang sangat bersemangat dan tertarik
dengan hal itu. Mereka sangat ingin menjadi Jenderal. Tetapi, ada seekor
binatang yang tidak membaca surat semacam ini, yaitu Kucing yang suka bersantai
dan tidur. Ia hanya mendengar berita ini dari Tikus. Tikus yang licik menipunya
dan memberitahu bahwa mereka harus berkumpul di tempat Dewa lusa tanggal 2
Januari, padahal seharusnya mereka berkumpul besok pagi tanggal 1 Januari.
Semua binatang bersemangat dan memikirkan tentang kemenangan,
dan mereka semua tidur cepat. Hanya Sapi yang langsung berangkat malam itu
juga, karena ia sadar bahwa ia hanya dapat berjalan lambat. Tikus yang licik
melihatnya lalu meloncat dan menumpang di punggung Sapi, tapi Sapi tidak
menyadari hal itu.
Pagi harinya, saat hari masih gelap, Anjing,
Monyet, Babi Hutan, Harimau, Naga, Ular, Kelinci, Ayam, Domba dan Kuda semuanya
berangkat berlari menuju ketempat Sang Dewa.
Saat matahari mulai terbit, yang pertama kali
sampai di tampat tinggal Dewa adalah...Sapi. Tapi kemudian Tikus melompat
kedepan dan mendarat tepat dihadapan Dewa. Maka Tikus pun menjadi yang pertama.
Selamat Tahun Baru Dewa...kata Tikus kepada Dewa.
Sapi pun menangis karena kecewa menjadi urutan ke
dua.
Di belakang mereka, tibalah Harimau, Kelinci,
Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan datang berurutan.
Dengan demikian mereka ditetapkan sebagai pemenang satu sampai dengan duabelas
sesuai dengan urutan kedatangannya.
Duabelas ekor binatang
ini kemudian disebut dengan 12 Shio Bintang.
Para binatang itu merayakan kemenangan dan
berpesta pora sambil mengelilingi Sang Dewa. Lalu, kucing datang dengan wajah
yang sangat marah. Ia mencari Tikus yang telah menipunya sehingga ia datang
terlambat. Kucing pun berlari mengejar Tikus kesana kemari.
Sejak itu mulailah era Duabelas Shio Binatang,
dimulai dari yang pertama tahun Tikus, lalu Sapi, kemudian Harimau, Kelinci,
Naga, Ular, Kuda, Domba, Monyet, Ayam, Anjing dan Babi Hutan.
Kucing yang tidak berhasil masuk kedalam Dua belas
Shio Binatang sampai sekarang masih mengejar Tikus kesana kemari karena telah
ditipu.
LEGENDA RAWA PENING
Pada
zaman dahulu, hidup seorang wanita bernama Endang Sawitri yang tinggal di desa
Ngasem. Endang Sawitri sedang hamil, dan
kemudian dia pun melahirkan. Anehnya, yang dilahirkan bukanlah bayi biasa,
melainkan seekor naga. Naga tersebut kemudian diberi nama Baru Klinting. Baru
Klinting adalah seekor naga yang unik. Dia bisa berbicara seperti manusia.
Saat
usianya menginjak remaja, Baru Klinting bertanya kepada ibunya. Dia ingin tahu
apakah dia memiliki seorang ayah, dan dimana ayahnya berada. Endang Sawitri
menjawab bahwa ayahnya adalah seorang raja, yang sedang bertapa di sebuah gua,
di lereng Gunung Telomoyo. Pada suatu hari, Endang Sawitri berkata bahwa sudah
tiba saatnya bagi Baru Klinting untuk menemui ayahnya. Dia memberikan sebuah
klintingan kepada Baru Klinting. Benda itu adalah peninggalan dari ayah Baru
Klinting, dan dapat menjadi bukti bahwa Baru Klinting adalah benar-benar
anaknya.
Baru
Klinting berangkat ke pertapaan untuk mencari ayahnya. Saat sampai di pertapaan
Ki Hajar Salokantara, dia pun bertemu dengan Ki Hajar Salokantara dan melakukan
sembah sujud di hadapannya. Baru Klinting menjelaskan kepada Ki Hajar
Salokantara bahwa dia adalah anaknya, sambil menunjukkan klintingan yang
dibawanya. Ki Hajar Salokantara kemudian berkata bahwa dia perlu bukti lagi.
Dia meminta Baru Klinting untuk melingkari Gunung Telomoyo. Jika dia bisa
melakukannya, maka benar dia adalah anaknya. Ternyata Baru Klinting dapat
dengan mudah melingkari gunung tersebut. Ki Hajar Salokantara mengakui bahwa
memang benar Baru Klinting adalah anaknya. Dia lalu memerintahkan Baru Klinting
untuk bertapa di dalam hutan yang terdapat di lereng Gunung Telomoyo.
Saat
Baru Klinting sedang bertapa di dalam hutan, datanglah para penduduk dari desa
Pathok. Mereka sedang berburu, mencari hewan untuk dijadikan santapan pesta
sedekah bumi yang mereka rayakan setelah panen usai. Karena tidak dapat
menemukan seekor hewan pun, mereka menangkap naga besar yang sedang bertapa
itu, dan memasaknya. Arwah Baru Klinting menjelma menjadi seekor anak kecil
yang kumal. Anak kecil tersebut datang ke pesta yang diadakan penduduk desa
Pathok, dan meminta untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan. Namun, para
penduduk menolak kehadiran anak yang kumal itu. Bahkan, Baru Klinting diusir
dan ditendang. Dengan marah dan sakit hati, Baru Klinting meninggalkan tempat
tersebut. Ia kemudian bertemu dengan seorang nenek tua yang memperlakukannya
dengan sangat baik. Dia diberi makan, dan diperlakukan seperti seorang tamu
yang terhormat. Baru Klinting kemudian berpesan kepada nenek tersebut agar
segera menyiapkan lesung jika nantinya terdengar suara gemuruh.
Baru
Klinting kembali ke pesta warga desa Pathok. Warga desa tersebut tetap berusaha
mengusirnya. Baru Klinting kemudian menancapkan sebuah lidi ke tanah. Dia
kemudian menantang warga desa untuk mencabutnya. Namun, tidak ada yang mampu
untuk mencabutnya. Baru Klinting kemudian mencabut lidi tersebut sendiri, dan
muncul mata air yang sangat deras, diikuti oleh suara gemuruh. Air yang muncul
dari mata air membanjiri desa tersebut dan terbentuklah Rawa Pening. Seluruh
penduduk desa tenggelam, kecuali nenek baik hati yang telah memperlakukan Baru
Klinting dengan baik. Nenek tersebut selamat karena masuk ke dalam lesung,
sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Baru Klinting.
RUSA DAN ANJING
Konon,
pada jaman dahulu kala, rusa tidak mempunyai tanduk. Justru anjinglah yang
mempunyai tanduk panjang dan bercabang-cabang. Pada suatu ketika, musim panas
yang sangat panjang tiba, sehingga hampir semua sungai menguap airnya hingga
kering. Semua hewan merasa kehausan dan juga kelaparan karena rumput dan tumbuh-tumbuhan
lainnya tidak dapat tumbuh.
Kehausan
dan kelaparan juga dialami oleh sepasang rusa. Mereka pergi mencari air dengan
menyusuri bukit, dan lereng-lereng gunung. Dan akhirnya setelah mencari cukup
lama mereka pun menemukan sebuah sungai yang masih ada airnya. Selain sepasang
rusa tersebut, sudah ada banyak hewan-hewan lain yang juga berada di situ.
“Setelah
sekian lama kita mencari, baru sekarang kita menemukan air. Lihatlah, sudah
banyak binatang lain yang berkumpul disini.”, kata rusa jantan kepada rusa
betina. Rusa betina kemudian memalingkan pandangannya ke segala penjuru. “Iya,
memang tempat ini sudah ramai dipenuhi oleh binatang lainnya yang juga kehausan
dan kelaparan”, kata rusa betina.
Sepasang
rusa itu lalu turun ke sungai. Tiba-tiba rusa betina melihat sesuatu dan
berkata kepada rusa jantan, “Coba lihat ke sana! Siapa binatang itu. Betapa
tampannya dia. Tanduknya sangat bagus dan menarik. Wah, dia terlihat sungguh
gagah.” Si rusa jantan lalu menoleh, dan memperhatikan binatang yang sedang
menuruni bukit menuju sungai untuk minum. “Itu adalah anjing. Dia sahabatku
namun kita sudah lama tidak berjumpa,” jawab rusa jantan.
Ketika
si anjing tiba di pinggir sungai, ia melihat rusa jantan dan istrinya.
“Hai, rusa! Sedang apa kau di sini?”
tegur si anjing kepada rusa jantan sahabatnya.
“Ya, jangan heran. Sekarang ini air
kan sangat sulit diperoleh karena kekeringan, dan makanan pun tak ada. Kami
pergi mencari kesana kemari hingga akhirnya menemukan air di tempat ini”, jawab
rusa jantan.
Kemudian
mereka semua turun ke sungai untuk minum. Setelah minum, ketiga hewan itu lalu
berpencar kembali. “Mana si anjing itu tadi?” Tanya rusa betina kepada rusa
jantan. “Oh, itu di sana! Di bawah pohon, dia sedang beristirahat. Mungkin dia
masih merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang jauh”, jawab rusa jantan. “Kalau
begitu, ayo kita juga beristirahat disana bersama dengan dia”, ajak si rusa
betina kepada suaminya. “Ah, kamu ini!", tegur rusa jantan kepada rusa
betina. "Kenapa dari tadi kamu selalu memandangi si anjing? Sedangkan aku
tak lagi kamu perhatikan?” tanya rusa jantan dengan jengkel.
“Tentu
saja. Aku kagum dengan tanduk si anjing itu. Wah sungguh tak terkatakan
indahnya. Oh, sungguh indah sekali”, jawab rusa betina sambil terus memuji-muji
tanduk si anjing.
“Apakah ia terlihat lebih gagah
dariku?” tanya si rusa jantan pada rusa betina istrinya. “Ya, tentu saja tidak.
Tetapi yang jelas tanduknya sangat bagus. Jika kau mempunyai tanduk seperti
dia, pasti kau akan terlihat jauh lebih gagah daripada si anjing” jawab rusa
betina
Rusa
jantan lalu terdiam sejenak. Ia pun berusaha mencari akal.
“Begini saja,” kata rusa jantan
sesaat kemudian. Kalau kamu mau lihat aku bertanduk, nanti aku akan meminjam
tanduk si anjing. Aku akan kesana dulu untuk berbicara dengannya.” Rusa jantan
itu terpengaruh oleh rayuan istrinya. Ia lalu menemui si anjing. “Hei anjing
temanku. Istriku ingin sekali melihat kita berlomba lari,” kata rusa jantan
berbohong.
Si
anjing yang tak ingin membuat sahabatnya kecewa menyetujui usul itu. Mereka
lalu pergi ke tepi padang rumput untuk berlomba lari. “Apabila saya sudah
berdiri dan mengangkat kakiku, maka mulailah kalian berdua lari”, rusa betina
memberikan aba-aba.
Rusa
jantan dan anjing itu kemudian berlomba lari. Dan ternyata, anjing dapat dengan
mudah dikalahkan oleh si rusa jantan. Si anjing merasa kecewa karena
kekalahannya itu. Sang rusa jantan pun segera menghibur sambil berusaha
menipunya.
“Begini anjing temanku. Kau tadi
dapat kukalahkan karena kau memakai tanduk yang berat sehingga larimu menjadi
lambat. Nah, supaya adil bagaimana kalau aku sekarang yang memakai tanduk itu.
Lalu kita berlomba lari lagi.”
Anjing
kemudian menyetujui lagi usul sahabatnya tanpa merasa curiga. Ia lalu
melepaskan tanduknya dan memberikannya kepada rusa jantan. Rusa jantan lalu
memakai tanduk si anjing yang besar dan bercabang-cabang itu.
Anjing
dan rusa jantan pun berlomba lagi. Ketika rusa jantan melihat si anjing berlari
sekencang-kencangnya di depan, ia pun berlari tetapi berbelok ke arah lain
menjauh dari si anjing. Sedangkan si anjing terus berlari dan berlari tanpa
menyadarinya. Karena merasa akan menang, anjing baru menoleh ke belakang.
Alangkah terkejutnya dia ketika melihat bahwa si rusa jantan sudah menghilang
dan tak ada di belakangnya.
Sadar
dia telah ditipu, si anjing berlari berbalik arah untuk memburu si rusa jantan
dengan marah. Akan tetapi, karena si rusa jantan jauh lebih gesit dan lincah,
si anjing tak mampu menyusulnya. Dan akhirnya, tanduk si anjing pun dibawa lari
oleh rusa jantan.
Karena
itulah hingga sekarang, bila anjing melihat rusa jantan, dia pasti akan
mengejarnya, karena ingin meminta kembali tanduknya yang dulu dipinjam. Hingga
saat ini binatang rusa jantan memiliki tanduk yang indah dan kokoh, yang membuatnya
terlihat gagah.
ASAL MULA NAMA KOTA
BALIKPAPAN
Menurut
cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun di kalangan masyarakat
Kalimantan Timur, sejak tahun 1700 an di tanah Pasir sudah ada sistem
pemerintahan kerajaan yang sangat teratur. Di bawah pemerintahan kerajaan
tersebut, rakyat hidup sejahtera. Kekuasaan raja yang memimpin pada waktu itu
sangat luas, membentang hingga ke bagian selatan. Daerah tersebut merupakan
sebuah teluk yang kaya akan hasil laut, dan pemandangan disana pun sangat
indah. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sepanjang teluk hidup sebagai
nelayan dan petani yang sangat makmur.
Sultan
yang memerintah kerajaan pada waktu itu adalah Sultan Aji Muhammad. Sultan
mempunyai seorang putri bernama Aji Tatin. Putri tersebut menikah dengan Raja
Kutai. Kepada ayahnya, Aji Tatin meminta warisan untuk masa depannya. Sultan
Aji Muhammad kemudian memberikan wilayah teluk yang saat itu memang belum
memiliki nama.
Pada
suatu hari, ketika orang-orang yang bertugas mengumpulkan upeti dari rakyat
untuk Aji Tatin sedang naik perahu, datanglah angin topan yang dahsyat. Upeti
dari rakyat yang sedang mereka bawa saat itu berupa papan dengan jumlah yang
sangat banyak. Karena merasa tidak mampu untuk melawan badai, para pendayung perahu
tersebut berusaha merapat ke pantai. Namun, karena gelombang yang sangat besar
dan angin topan tersebut, perahu pun terhempas ke sebuah karang. Alat untuk
mendayung (tokong/galah) pun patah dan perahu pun karam. Panglima Sendong yang
memimpin rombongan tersebut dan semua anak buahnya meninggal.
Jadi,
menurut legenda atau cerita rakyat Kalimantan Timur ini, nama Balikpapan
diambil dari kejadian saat perahu yang berisi papan terbalik karena diterpa
badai. Sedangkan pulau karang yang tertabrak oleh perahu hingga karam kini
dinamakan Pulau Tukung.
Legenda
Harimau Makan Durian
Desa
Kemingking Dalam merupakan termasuk wilayah kecamatan Taman Rajo, kabupaten
Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Daerah ini terkenal dengan berbagai macam hasil
bumi salah satunya adalah durian. Di desa Kemingking Dalam, musim durian
biasanya tiba satu atau dua tahun sekali dengan hasil yang berlimpah. Durian
dari daerah ini terkenal karena bentuknya yang tidak terlalu besar namun
memiliki rasa khas yang manis dan legit. Setiap musim panen tiba, masyarakat
desa Kemingking Dalam akan berbondong-bondong menunggui durian yang runtuh di
kebun mereka masing-masing. Mereka menjaga kebun ini bersama keluarga mereka
baik di waktu siang maupun malam. Tetapi, ketika musim panen hampir usai dan buah
yang ada di pohon tinggal sedikit, masyarakat desa Kemingking Dalam tidak akan
lagi menunggui kebun mereka di malam hari. Berkenaan dengan kebiasaan ini,
terdapat sebuah cerita di dalamnya.
Pada
suatu masa ketika desa Kemingking Dalam masih merupakan desa dengan
pemerintahan tersendiri dan raja-rajanya masih berkuasa. Rakyat hidup
berdampingan dalam kedamaian dan kesejahteraan berkat pemimpin yang bijaksana.
Namun, tiba-tiba segala kemakmuran itu terganggu dengan hadirnya seekor harimau
besar dari negeri seberang. Harimau ini buas, bengis, dan lapar. Ia tidak hanya
menghabisi ternak warga masyaraka, tetapi lambat laun harimau ini mulai
menyerang manusia. Membuat belasan orang meninggal sedangkan puluha lainnya
luka-luka dengan cacat pada tubuhnya.
Melihat
hal ini, Raja yang berkuasa di saat itu tidak dapat tinggal diam. Ia kemudian
memerintahkan salah seorang prajuritnya yang paling sakti untuk mengatasi
krisis yang terjadi di kerajaannya. Prajurit ini dengan patuh pergi mencari
harimau untuk mengusir atau membunuhnya. Ketika berhadapan dengan sang harimau
prajurit ini langsung menyerang dengan segala daya upaya yang dimilikinya.
Namun sang harimau yang sangat besar dan kuat dapat dengan mudah mematahkan
pedang dan tombak senjata sang prajurit serta melukai prajurit hingga terluka
parah.
Mengetahui
kondisinya yang tidak lagi memungkinkannya untuk bertarung secara maksimal,
sang prajurit kemudian melarikan diri dari sang harimau dengan segenap
kesaktiannya yang tersisa ia dapat menghindari pengejaran si harimau selama
beberapa musim. Hingga akhir tahun itu tiba, cidera yang diderita sang prajurit
masih belum pulih sepenuhnya. Ia masih belum sanggup untuk melawan sang harimau
yang terus mengejarnya seorang diri. Hingga ketika itu sampailah sang prajurit
di sebuah daerah yang masih merupakan bagian dari wilayah Desa Kemingking Dalam
sekarang ini yang dipenuhi aroma manis dan tanahnya dipenuhi buah yang penuh
duri.
Di
tempat ini sang prajurit tidak dapat lagi melarikan diri dan ia telah bertekad
untuk melawan sang harimau apapun taruhannya. Ketika sang harimau mendapati
sang prajurit tidak lagi melarikan diri ia pun menyerang sang prajurit tanpa
ampun. Mereka kemudian bertarung dengan seluruh kemampuan mereka. Hingga
kemudian sang prajurit menyadari kehadiran buah yang permukaannya dipenuhi duri
itu. Ia kemudian menggunakan buah yang di masa kini dikenal dengan nama Durian
sebagai senjatanya. Sang prajurit melempar harimau jahat itu dengan durian
terus menerus hingga harimau itu terluka parah dan menyadari bahwa ia telah
kalah.
Saat
hendak menghabisi sang harimau, harimau pun meminta ampun atas semua kesalahan
yang telah ia lakukan di masa lalu. Ia pun berjanji kepada sang prajurit untuk
tidak lagi menyerang warga asalkan ia diperbolehkan untuk melahap sebagian dari
buah yang penuh duri yang tumbuh di tanah mereka itu. Karena rasa kasihan dan
iba serta karena melihat kesungguhan dari sang harimau, maka sang prajurit pun
membiarkan harimau untuk terus hidup dengan syarat ia tidak akan mendapat ampun
lagi apabila ia melanggar janjinya pada sang prajurit.
Maka
setelah sekian lama dalam pelarian kembalilah sang prajurit dengan kemenangan
di pihaknya. Ia pun melaporkan segala yang terjadi kepada Rajanya dan
meneruskan sumpah sang harimau kepada seluruh masyarakat untuk dihormati dan
dipatuhi. Hingga sekarang, sumpah sang harimau terus dijaga oleh masyarakat
desa Kemingking Dalam. Sehingga meskipun hutan desa Kemingking Dalam termasuk
dalam wilayah kekuasaan harimau, harimau-harimau ini tidak pernah menampakkan
diri ataupun menyerang warga. Mereka hanya muncul di waktu malam ketika musim
durian hampir usai untuk melahap buah-buah terakhir yang telah diperjanjikan
untuknya.
Si Pitung
Pada
jaman penjajahan belanda dahulu, di daerah Jakarta (dahulu Batavia) hiduplah seorang
pria gagah yang bernama si Pitung. Dia lahir dari pasangan suami istri yang
bernama pak Piun dan bu Pinah. Pekerjaan pak Piun sehari-hari adalah bertani.
Setiap
hari si Pitung membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa dan mencari
rumput untuk pakan ternaknya. Si Pitung juga tak segan untuk membantu
tetangganya yang memerlukan bantuan. Tiap hari si Pitung juga sangat rajin
menunaikan sholat dan puasa, bapaknya juga selalu mengajarkan si Pitung untuk
bertutur kata yang santun, dan patuh kepada orang tua.
Si Pitung dan keluarganya tinggal di
kampung Rawabelong, daerah kebayoran. Daerah itu adalah bagian dari daerah
kekuasaan tuan tanah yang bernama babah Liem Tjeng Soen,oleh karena itu semua
warga yang tinggal di situ wajib membayar pajak kepada babah Liem. Hasil pajak
tanah tersebut nantinya akan disetorkan kepada Belanda.
Dalam
memungut pajak, babah Liem dibantu oleh anak buahnya yang berasal dari kalangan
pribumi. Anak buah yang diangkat babah Liem adalah kaum pribumi yang pandai
bersilat dan memainkan senjata. Tujuannya adalah supaya para penduduk tidak
berani melawan dan membantah pada saat dipungut pajak.
Hingga
pada suatu hari, saat si Pitung membantu bapaknya mengumpulkan hasil panen dari
sawah. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya si Pitung melihat anak buah
babah Liem sedang marah-marah kepada bapaknya. Si Pitung lalu menghampiri
bapaknya, dan bertanya kepada anak buah babah Liem, “Hey, apa salah bapak
saya?” “Tanya saja sama bapakmu ini!!”, jawab anak buah babah Liem.
Anak
buah babah Liem lalu pergi dengan membawa semua hasil panen yang telah
dikumpulakan si Pitung dan bapaknya. Dengan nada geram, si Pitung berbicara
dalam hatinya, “Nantikan pembalasanku!!”
Hingga
keesokan harinya saat si Pitung berjalan menyusuri kampung, dia melihat
kesewenang-wenangan anak buah babah Liem lagi. Mereka merampas ayam, kambing,
kelapa, dan padi dari penduduk, tanpa rasa iba.
Sebagai
warga yang merasa bertanggung jawab atas keamanan, maka si Pitung tidak tinggal
diam. Si Pitung lalu menghampiri anak buah babah Liem, lalu berteriak “Hentikan
pengecut!! Kenapa kalian merampas harta orang lain?!”
Para
anak buah babah Liem kemudian menoleh kearah si Pitung. “Siapa kamu ini,
berani-beraninya mencegah kami? Kamu tidak tahu siapa kami ini?”,teriak anak
buah babah Liem.
“Saya tidak peduli siapa kalian,
tapi perbuatan kalian itu sangatlah kejam dan tidak berperi kemanusiaan!”,
jawab si Pitung.
Mendengar
perkataan si Pitung, pemimpin anak buah babah Liem menjadi geram. Ia lalu
menghampiri si Pitung, dan menyerang sekenanya saja. Ia mengira bahwa Pitung
akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal
lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Anak buah babah Liem yang
lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung
menyerang lebih dulu. Ada lima orang yang
mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga
mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih
pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam:
“Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa
hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi pembicaraan di seluruh
Kebayoran. Namun, Pitung tak gentar dan tetap bersikap tenang. Ia bahkan tidak
menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Suatu
hari, Pak Piun menyuruh si Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak
Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Si Pitung pun
pergi ke tanah abang untuk menjual dua kambingnya itu. Tanpa sepengetahuan si
Pitung, ternyata ada satu orang anak buah babah Liem yang membuntutinya sejak
berangkat dari rumah tadi. Hingga pada saat si Pitung mandi di sungai dan
berwudhu, anak buah babah Liem tadi mencuri uang hasil penjualan kambing dari
saku bajunya yang diletakkakn di pinggir sungai.
Sesampainya
di rumah, si Pitung sangatlah kaget. Karena uang hasil penjualan kambing tidak
ada di sakunya lagi. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari
orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan
orang itu. Orang itu sedang berkumpul di sebuah kedai kopi.
Si Pitung mendatanginya dan
menghardik, “Kembalikan uangku!”
Salah seorang
berkata sambil tertawa, “Kamu
boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi anggota kami.” “Tak sudi aku jadi anggota kalian,” jawab si Pitung.
Para
anak buah babah Liem itu marah mendengar jawaban si Pitung. Serentak mereka
menyerbu Pitung. Namun, yang mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung
Rawabelong yang pernah menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian.
Akibatnya, satu demi satu mereka kena pukulan Si Pitung.
Sejak
hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela orang-orang yang lemah. Ia tak
tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata, yang ditindas tuan tanah
dan dihisap oleh penjajah Belanda. Beberapa anak buah babah Liem yang pernah
dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka untuk membentuk suatu
kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah orang kaya dan
membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan lemah.
Nama
Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Para tuan tanah dan orang-orang
yang mengambil keuntungan dengan cara memihak Belanda menjadi tidak nyaman. Mereka mengadukan permasalahan itu kepada
pemerintah Belanda.
Penguasa
penjajah di Batavia pun memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si
Pitung. Schout Heyne, komandan Kebayoran, memerintahkan
mantri polisi untuk mencari tahu di mana si Pitung
berada. Schout Heyne menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi
tahu keberadaan si Pitung
Mengetahui
dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat dan ia tetap membantu rakyat. Harta
rampasan dari orang kaya selalu ia
berikan kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan.
Pada suatu
hari, Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi belanda. Waktu itu si Pitung beserta kelompoknya akan
merampok rumah seorang demang, tapi
ternyata polisi belanda sudah lebih
dulu bersembunyi di sekitar rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba,
polisi segera mengepung rumah itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap,
sementara teman-temannya berhasil meloloskan diri. Akhirnya si Pitung dibawa ke penjara dan disekap di sana.
Karena si Pitung adalah seorang yg cerdik dan sakti, maka dia berhasil meloloskan diri
lewat genteng pada malam hari saat penjaga sedang istirahat. Pada pagi harinya, para penjaga menjadi panik karena si Pitung tidak ada di dalam penjara lagi.
Kabar
lolosnya si Pitung membuat polisi belanda dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi. Kemudian Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap orang tua dan guru si Pitung. Mereka dipaksa para polisi untuk memberitahukan keberadaan Si Pitung sekarang. Namun, mereka tetap bungkam. Akibatnya, mereka pun dimasukkan kedalam penjara.
Mendengar
kabar bahwa orang tua dan gurunya
ditangkap polisi belanda, lalu si Pitung mengirim pesan kepada pihak belanda. Ia mengatakan akan menyerahkan diri bila orang tua dan gurunya itu dibebaskan. Kesepakatan tersebut kemudian disetujui oleh Schout Heyne.
Kemudian pada hari yang telah disepakati, mereka bertemu di tanah lapang. Orang tua si Pitung dilepaskan dahulu. Kini
tinggal Haji Naipin yang masih bersama polisi belanda. Di tanah
lapang itu, sepasukan polisi menodongkan senjata ke arah Haji Naipin. “Lepaskan
Haji Naipin sekarang juga”, kata si Pitung. “Aku akan melepaskan gurumu ini setelah engkau benar-benar menyerah”, kata
Schout Heyne.
Mendengar persyaratan yang diajukan Schout Heyne, lalu si Pitung maju ke
tengah lapangan. Dengan sigap, pasukan polisi lalu membidikkan
senjata mereka kearah si Pitung. “Akhirnya tertangkap juga kamu, Pitung!” teriak Schout
Heyne dengan nada sombong. “Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos lagi. Dengan
orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan anak buah, aku
tidak takut,” jawab si Pitung.
Mendengar kata-kata si Pitung, Schout Heyne menjadi marah. Ia
mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak.
Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun protes dari Haji Naipin tidak didengarkan, dan aba-aba untuk menembak si
Pitung sudah diteriakkan. Akhirnya si Pitung gugur bersimbah darah.
Orang tua dan guru si Pitung merasa
sangat sedih sekali melihat si Pitung akhirnya gugur di tangan polisi belanda. Banyak
rakyat yang turut mengiringi pemakamannya dan mendoakannya. Mereka berjanji akan selalu mengingat jasa Si Pitung, pembela dan pelindung mereka, dan tetap akan menganggap si Pitung sebagai pahlawan betawi.
Legenda Roro
Jonggrang
Alkisah
pada zaman dahulu kala, berdiri sebuah kerajaan yang sangat besar yang bernama
Prambanan. Rakyat Prambanan sangat damai dan makmur di bawah kepemimpinan raja
yang bernama Prabu Baka. Kerajaan-kerajaan kecil di wilayah sekitar Prambanan
juga sangat tunduk dan menghormati kepemimpinan Prabu Baka.
Sementara
itu di lain tempat, ada satu kerajaan yang tak kalah besarnya dengan kerajaan
Prambanan, yakni kerajaan Pengging. Kerajaan tersebut terkenal sangat arogan
dan ingin selalu memperluas wilayah kekuasaanya. Kerajaan Pengging mempunyai
seorang ksatria sakti yang bernama Bondowoso. Dia mempunyai senjata sakti yang
bernama Bandung, sehingga Bondowoso terkenal dengan sebutan Bandung Bondowoso.
Selain mempunyai senjata yang sakti, Bandung Bondowoso juga mempunyai bala
tentara berupa Jin. Bala tentara tersebut yang digunakan Bandung Bondowoso
untuk membantunya untuk menyerang kerajaan lain dan memenuhi segala
keinginannya.
Hingga
Suatu ketika, Raja Pengging yang arogan memanggil Bandung Bondowoso. Raja
Pengging itu kemudian memerintahkan Bandung Bondowoso untuk menyerang Kerajaan
Prambanan. Keesokan harinya Bandung Bondowoso memanggil balatentaranya yang
berupa Jin untuk berkumpul, dan langsung berangkat ke Kerajaan Prambanan.
Setibanya
di Prambanan, mereka langsung menyerbu masuk ke dalam istana Prambanan. Prabu
Baka dan pasukannya kalang kabut, karena mereka kurang persiapan. Akhirnya
Bandung Bondowoso berhasil menduduki Kerajaan Prambanan, dan Prabu Baka tewas
karena terkena senjata Bandung Bondowoso.
Kemenangan
Bandung Bondowoso dan pasukannya disambut gembira oleh Raja Pengging. Kemudian
Raja Pengging pun mengamanatkan Bandung Bondowoso untuk menempati Istana
Prambanan dan mengurus segala isinya,termasuk keluarga Prabu Baka.
Pada
saat Bandung Bondowoso tinggal di Istana Kerajaan Prambanan, dia melihat
seorang wanita yang sangat cantik jelita. Wanita tersebut adalah Roro
Jonggrang, putri dari Prabu Baka. Saat melihat Roro Jonggrang, Bandung
Bondowoso mulai jatuh hati. Dengan tanpa berpikir panjang lagi, Bandung
Bondowoso langsung memanggil dan melamar Roro Jonggrang.
“Wahai Roro Jonggrang, bersediakah
seandainya dikau menjadi permaisuriku?”, Tanya Bandung Bondowoso pada Roro
Jonggrang.
Mendengar
pertanyaan dari Bandung Bondowoso tersebut, Roro Jonggrang hanya terdiam dan
kelihatan bingung. Sebenarnya dia sangat membenci Bandung Bondowoso, karena
telah membunuh ayahnya yang sangat dicintainya. Tetapi di sisi lain, Roro
Jonggrang merasa takut menolak lamaran Bandung Bondowoso. Akhirnya setelah
berfikir sejenak, Roro Jonggrang pun menemukan satu cara supaya Bandung
Bondowoso tidak jadi menikahinya.
“Baiklah,aku menerima lamaranmu. Tetapi
setelah kamu memenuhi satu syarat dariku”,jawab Roro Jonggrang. “Apakah
syaratmu itu Roro Jonggrang?”,Tanya Bandung Bandawasa. “Buatkan aku seribu
candi dan dua buah sumur dalam waktu satu malam”, Jawab Roro Jonggrang. Mendengar syarat yang diajukan Roro Jonggrang
tersebut, Bandung Bondowoso pun langsung menyetujuinya. Dia merasa bahwa itu
adalah syarat yang sangat mudah baginya, karena Bandung Bondowoso mempunyai
balatentara Jin yang sangat banyak.
Pada
malam harinya, Bandung Bandawasa mulai mengumpulkan balatentaranya. Dalam waktu
sekejap, balatentara yang berupa Jin tersebut datang. Setelah mendengar
perintah dari Bandung Bondowoso, para balatentara itu langsung membangun candi
dan sumur dengan sangat cepat.
Roro
Jonggrang yang menyaksikan pembangunan candi mulai gelisah dan ketakutan,
karena dalam dua per tiga malam, tinggal tiga buah candi dan sebuah sumur saja
yang belum mereka selesaikan.
Roro
Jonggrang kemudian berpikir keras, mencari cara supaya Bandung Bondowoso tidak
dapat memenuhi persyaratannya.
Setelah berpikir keras, Roro
Jonggrang akhirnya menemukan jalan keluar. Dia akan membuat suasana menjadi
seperti pagi,sehingga para Jin tersebut menghentikan pembuatan candi.
Roro
Jonggrang segera memanggil semua dayang-dayang yang ada di istana.
Dayang-dayang tersebut diberi tugas Roro Jonggrang untuk membakar jerami,
membunyikan lesung, serta menaburkan bunga yang berbau semerbak mewangi.
Mendengar
perintah dari Roro Jonggrang, dayang-dayang segera membakar jerami. Tak lama
kemudian langit tampak kemerah merahan, dan lesung pun mulai dibunyikan. Bau
harum bunga yang disebar mulai tercium, dan ayam pun mulai berkokok.
Melihat
langit memerah, bunyi lesung, dan bau harumnya bunga tersebut, maka balatentara
Bandung Bondowoso mulai pergi meninggalkan pekerjaannya. Mereka pikir hari
sudah mulai pagi, dan mereka pun harus pergi. Melihat Balatentaranya pergi,
Bandung Bondowoso berteriak: “Hai balatentaraku, hari belum pagi. Kembalilah
untuk menyelesaikan pembangunan candi ini !!!”
Para
Jin tersebut tetap pergi, dan tidak menghiraukan teriakan Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso pun merasa sangat kesal, dan akhirnya menyelesaikan
pembangunan candi yang tersisa. Namun sungguh sial, belum selesai pembangunan
candi tersebut, pagi sudah datang. Bandung Bondowoso pun gagal memenuhi syarat
dari Roro Jonggrang.
Mengetahui
kegagalan Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang lalu menghampiri Bandung Bondowoso.
“Kamu gagal memenuhi syarat dariku, Bandung Bondowoso”, kata Roro Jonggrang.
Mendengar
kata Roro Jonggrang tersebut, Bandung Bondowoso sangat marah. Dengan nada
sangat keras, Bandung Bondowoso berkata: “Kau curang Roro Jonggrang. Sebenarnya
engkaulah yang menggagalkan pembangunan seribu candi ini. Oleh karena itu,
Engkau aku kutuk menjadi arca yang ada di dalam candi yang keseribu !”
Berkat
kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang berubah menjadi arca/patung. Wujud
arca tersebut hingga kini dapat disaksikan di dalam kompleks candi Prambanan,
dan nama candi tersebut dikenal dengan nama candi Roro Jonggrang. Sementara
candi-candi yang berada di sekitarnya disebut dengan Candi Sewu atau Candi
Seribu.
Bawang Merah
dan Bawang Putih
Jaman
dahulu kala di sebuah desa tinggal sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu
dan seorang gadis remaja yang cantik bernama bawang putih. Mereka adalah
keluarga yang bahagia. Meski ayah bawang putih hanya pedagang biasa, namun
mereka hidup rukun dan damai. Namun suatu hari ibu bawang putih sakit keras dan
akhirnya meninggal dunia. Bawang putih sangat berduka demikian pula ayahnya.
Di
desa itu tinggal pula seorang janda yang memiliki anak bernama Bawang Merah.
Semenjak ibu Bawang putih meninggal, ibu Bawang merah sering berkunjung ke
rumah Bawang putih. Dia sering membawakan makanan, membantu bawang putih
membereskan rumah atau hanya menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol.
Akhirnya ayah Bawang putih berpikir bahwa mungkin lebih baik kalau ia menikah
saja dengan ibu Bawang merah, supaya Bawang putih tidak kesepian lagi.
Dengan
pertimbangan dari bawang putih, maka ayah Bawang putih menikah dengan ibu
bawang merah. Awalnya ibu bawang merah dan bawang merah sangat baik kepada
bawang putih. Namun lama kelamaan sifat asli mereka mulai kelihatan. Mereka
kerap memarahi bawang putih dan memberinya pekerjaan berat jika ayah Bawang
Putih sedang pergi berdagang. Bawang putih harus mengerjakan semua pekerjaan
rumah, sementara Bawang merah dan ibunya hanya duduk-duduk saja. Tentu saja
ayah Bawang putih tidak mengetahuinya, karena Bawang putih tidak pernah
menceritakannya.
Suatu
hari ayah Bawang putih jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sejak saat itu
Bawang merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang putih.
Bawang putih hampir tidak pernah beristirahat. Dia sudah harus bangun sebelum
subuh, untuk mempersiapkan air mandi dan sarapan bagi Bawang merah dan ibunya.
Kemudian dia harus memberi makan ternak, menyirami kebun dan mencuci baju ke
sungai. Lalu dia masih harus menyetrika, membereskan rumah, dan masih banyak
pekerjaan lainnya. Namun Bawang putih selalu melakukan pekerjaannya dengan
gembira, karena dia berharap suatu saat ibu tirinya akan mencintainya seperti
anak kandungnya sendiri.
Pagi
ini seperti biasa Bawang putih membawa bakul berisi pakaian yang akan dicucinya
di sungai. Dengan bernyanyi kecil dia menyusuri jalan setapak di pinggir hutan
kecil yang biasa dilaluinya. Hari itu cuaca sangat cerah. Bawang putih segera
mencuci semua pakaian kotor yang dibawanya. Saking terlalu asyiknya, Bawang
putih tidak menyadari bahwa salah satu baju telah hanyut terbawa arus.
Celakanya baju yang hanyut adalah baju kesayangan ibu tirinya. Ketika menyadari
hal itu, baju ibu tirinya telah hanyut terlalu jauh. Bawang putih mencoba
menyusuri sungai untuk mencarinya, namun tidak berhasil menemukannya. Dengan
putus asa dia kembali ke rumah dan menceritakannya kepada ibunya.
“Dasar ceroboh!” bentak ibu tirinya. “Aku
tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari baju itu! Dan jangan berani pulang
ke rumah kalau kau belum menemukannya. Mengerti?”
Bawang
putih terpaksa menuruti keinginan ibun tirinya. Dia segera menyusuri sungai
tempatnya mencuci tadi. Matahari sudah mulai meninggi, namun Bawang putih belum
juga menemukan baju ibunya. Dia memasang matanya, dengan teliti diperiksanya
setiap juluran akar yang menjorok ke sungai, siapa tahu baju ibunya tersangkut
disana. Setelah jauh melangkah dan matahari sudah condong ke barat, Bawang
putih melihat seorang penggembala yang sedang memandikan kerbaunya. Maka Bawang
putih bertanya: “Wahai paman yang baik, apakah paman melihat baju merah yang
hanyut lewat sini? Karena saya harus menemukan dan membawanya pulang.” “Ya tadi
saya lihat nak. Kalau kamu mengejarnya cepat-cepat, mungkin kau bisa
mengejarnya,” kata paman itu.
“Baiklah paman, terima kasih!” kata Bawang
putih dan segera berlari kembali menyusuri. Hari sudah mulai gelap, Bawang
putih sudah mulai putus asa. Sebentar lagi malam akan tiba, dan Bawang putih.
Dari kejauhan tampak cahaya lampu yang berasal dari sebuah gubuk di tepi
sungai. Bawang putih segera menghampiri rumah itu dan mengetuknya. “Permisi…!”
kata Bawang putih. Seorang perempuan tua membuka pintu. “Siapa kamu nak?” tanya
nenek itu.
“Saya
Bawang putih nek. Tadi saya sedang mencari baju ibu saya yang hanyut. Dan
sekarang kemalaman. Bolehkah saya tinggal di sini malam ini?” tanya Bawang
putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek. “Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Boleh nak. Apakah baju yang kau cari berwarna merah?” tanya nenek. “Ya nek. Apa…nenek menemukannya?” tanya Bawang putih.
“Ya. Tadi baju itu tersangkut di depan rumahku.
Sayang, padahal aku menyukai baju itu,” kata nenek. “Baiklah aku akan
mengembalikannya, tapi kau harus menemaniku dulu disini selama seminggu. Sudah
lama aku tidak mengobrol dengan siapapun, bagaimana?” pinta nenek.Bawang putih
berpikir sejenak. Nenek itu kelihatan kesepian. Bawang putih pun merasa iba.
“Baiklah nek, saya akan menemani nenek selama seminggu, asal nenek tidak bosan
saja denganku,” kata Bawang putih dengan tersenyum.
Selama
seminggu Bawang putih tinggal dengan nenek tersebut. Setiap hari Bawang putih
membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek. Tentu saja nenek itu merasa senang.
Hingga akhirnya genap sudah seminggu, nenek pun memanggil bawang putih. “Nak,
sudah seminggu kau tinggal di sini. Dan aku senang karena kau anak yang rajin
dan berbakti. Untuk itu sesuai janjiku kau boleh membawa baju ibumu pulang. Dan
satu lagi, kau boleh memilih satu dari dua labu kuning ini sebagai hadiah!”
kata nenek. Mulanya Bawang putih menolak diberi hadiah tapi nenek tetap
memaksanya. Akhirnya Bawang putih memilih labu yang paling kecil. “Saya takut
tidak kuat membawa yang besar,” katanya. Nenek pun tersenyum dan mengantarkan
Bawang putih hingga depan rumah.
Sesampainya
di rumah, Bawang putih menyerahkan baju merah milik ibu tirinya sementara dia
pergi ke dapur untuk membelah labu kuningnya. Alangkah terkejutnya bawang putih
ketika labu itu terbelah, didalamnya ternyata berisi emas permata yang sangat
banyak. Dia berteriak saking gembiranya dan memberitahukan hal ajaib ini ke ibu
tirinya dan bawang merah yang dengan serakah langsun merebut emas dan permata
tersebut. Mereka memaksa bawang putih untuk menceritakan bagaimana dia bisa
mendapatkan hadiah tersebut. Bawang putih pun menceritakan dengan sejujurnya.
Mendengar
cerita bawang putih, bawang merah dan ibunya berencana untuk melakukan hal yang
sama tapi kali ini bawang merah yang akan melakukannya. Singkat kata akhirnya
bawang merah sampai di rumah nenek tua di pinggir sungai tersebut. Seperti
bawang putih, bawang merah pun diminta untuk menemaninya selama seminggu. Tidak
seperti bawang putih yang rajin, selama seminggu itu bawang merah hanya
bermalas-malasan. Kalaupun ada yang dikerjakan maka hasilnya tidak pernah bagus
karena selalu dikerjakan dengan asal-asalan. Akhirnya setelah seminggu nenek
itu membolehkan bawang merah untuk pergi. “Bukankah seharusnya nenek memberiku
labu sebagai hadiah karena menemanimu selama seminggu?” tanya bawang merah.
Nenek itu terpaksa menyuruh bawang merah memilih salah satu dari dua labu yang
ditawarkan. Dengan cepat bawang merah mengambil labu yang besar dan tanpa
mengucapkan terima kasih dia melenggang pergi.
Sesampainya
di rumah bawang merah segera menemui ibunya dan dengan gembira memperlihatkan
labu yang dibawanya. Karena takut bawang putih akan meminta bagian, mereka menyuruh
bawang putih untuk pergi ke sungai. Lalu dengan tidak sabar mereka membelah
labu tersebut. Tapi ternyata bukan emas permata yang keluar dari labu tersebut,
melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan lain-lain.
Binatang-binatang itu langsung menyerang bawang merah dan ibunya hingga tewas.
Itulah balasan bagi orang yang serakah.
Cindelaras
Kerajaan Jenggala dipimpin oleh seorang raja yang
bernama Raden Putra. Ia didampingi oleh seorang permaisuri yang baik hati dan
seorang selir yang memiliki sifat iri dan dengki. Raja Putra dan kedua istrinya
tadi hidup di dalam istana yang sangat megah dan damai. Hingga suatu hari selir
raja merencanakan sesuatu yang buruk pada permaisuri raja. Hal tersebut
dilakukan karena selir Raden Putra ingin menjadi permaisuri.
Selir baginda lalu berkomplot dengan seorang tabib
istana untuk melaksanakan rencana tersebut. Selir baginda berpura-pura sakit
parah. Tabib istana lalu segera dipanggil sang Raja. Setelah memeriksa selir
tersebut, sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun
dalam minuman tuan putri. "Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda
sendiri," kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan
tabib istana. Ia segera memerintahkan patih untuk membuang permaisuri ke hutan
dan membunuhnya.
Sang Patih segera membawa permaisuri yang sedang
mengandung itu ke tengah hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau
membunuh sang permaisuri. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir
baginda. "Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada
Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh," kata patih. Untuk mengelabui
raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya.
Raja merasa puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.
Setelah beberapa bulan berada di hutan, sang
permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberinya nama
Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan.
Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari,
ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur ayam.
Cindelaras kemudian mengambil telur itu dan bermaksud menetaskannya. Setelah 3
minggu, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam yang sangat lucu. Cindelaras
memelihara anak ayamnya dengan rajin. Kian hari anak ayam itu tumbuh menjadi
seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Tetapi ada satu yang aneh dari ayam
tersebut. Bunyi kokok ayam itu berbeda dengan ayam lainnya. "Kukuruyuk...
Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden
Putra...", kokok ayam itu
Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya
itu dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan
asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya,
Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda.
Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam
jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung
ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. "Ayo, kalau
berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku," tantangnya.
"Baiklah," jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan
Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat
mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak
terkalahkan.
Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar
dengan cepat hingga sampai ke Istana. Raden Putra akhirnya pun mendengar berita
itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras
ke istana. "Hamba menghadap paduka," kata Cindelaras dengan santun.
"Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat
jelata," pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra
dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya
dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra
menjadi milik Cindelaras.
Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani.
Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang
Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.
"Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau
sebenarnya, anak muda?" Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera
membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya.
Tidak berapa lama
ayamnya segera berbunyi. "Kukuruyuk... Tuanku Cindelaras, rumahnya di
tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra...," ayam jantan
itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam
Cindelaras. "Benarkah itu?" Tanya baginda keheranan. "Benar Baginda,
nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda."
Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap
dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri.
"Aku telah melakukan kesalahan," kata Baginda Raden Putra. "Aku
akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku," lanjut Baginda dengan
murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera
memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan
hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra,
permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra
meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah
negerinya dengan adil dan bijaksana.
Legenda
Sangkuriang
Pada
jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang
Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak
tersebut sangat gemar berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu
ditemani oleh seekor anjing kesayangannya yang bernama Tumang. Tumang
sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung Sangkuriang, tetapi
Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja merahasiakannya.
Pada
suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah
sesampainya di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor
burung yang sedang bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang
langsung menembaknya, dan tepat mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah
Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi si Tumang diam saja dan tidak mau
mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada Tumang, maka
Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah bersamanya
lagi.
Sesampainya
di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu
mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok
nasi, dan dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan
perlakuan ibunya, maka Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan
meninggalkan rumahnya.
Setelah
kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap
hari, dan meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena
kesungguhan dari doa Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah
berupa kecantikan abadi dan usia muda selamanya.
Setelah
bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang
ke kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena
kampung halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut
bertambah ketika saat di tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat
cantik jelita, yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan
kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang langsung melamarnya. Akhirnya
lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat akan menikah di
waktu dekat.
Pada
suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk berburu di hatan.
Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan merapikan
ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia
merapikan ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka
tersebut mirip dengan bekas luka anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang
tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi bertambah tekejut, karena ternyata
benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.
Dayang
Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya
sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara
kepada Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka.
Permintaan Dayang Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya
dianggap angin lalu saja.
Setiap
hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah
terjadi. Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik.
Dia mengajukan dua buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat
memenuhi kedua syarat tersebut, maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi
sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan dibatalkan.
Syarat yang pertama Dayang Sumbi
ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan yang kedua adalah, meminta
Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk menyeberang sungai.
Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang
menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya,
Sangkuriang lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu
menyelesaikan tugasnya tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja
dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya dia, karena Sangkuriang hampir
menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi sebelum fajar.
Dayang Sumbi lalu meminta bantuan
masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna merah di sebelah timur
kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira kalau
hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan
merasa tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.
Dengan rasa
jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya
sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota
terendam air. Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya.
Sampan itu melayang dan jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang
bernama Tangkuban Perahu.
Legenda
Danau Toba
Di wilayah Sumatera hiduplah seorang petani yang
sangat rajin bekerja. Ia hidup sendiri sebatang kara. Setiap hari ia bekerja
menggarap lading dan mencari ikan dengan tidak mengenal lelah. Hal ini
dilakukannya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Pada suatu hari petani tersebut pergi ke sungai di
dekat tempat tinggalnya, ia bermaksud mencari ikan untuk lauknya hari ini.
Dengan hanya berbekal sebuah kail, umpan dan tempat ikan, ia pun langsung
menuju ke sungai. Setelah sesampainya di sungai, petani tersebut langsung melemparkan
kailnya. Sambil menunggu kailnya dimakan ikan, petani tersebut berdoa,“Ya
Alloh, semoga aku dapat ikan banyak hari ini”. Beberapa saat setelah berdoa,
kail yang dilemparkannya tadi nampak bergoyang-goyang. Ia segera menarik
kailnya. Petani tersebut sangat senang sekali, karena ikan yang didapatkannya
sangat besar dan cantik sekali.
Setelah beberapa saat memandangi ikan hasil
tangkapannya, petani itu sangat terkejut. Ternyata ikan yang ditangkapnya itu
bisa berbicara. “Tolong aku jangan dimakan Pak!! Biarkan aku hidup”, teriak
ikan itu. Tanpa banyak Tanya, ikan tangkapannya itu langsung dikembalikan ke
dalam air lagi. Setelah mengembalikan ikan ke dalam air, petani itu bertambah
terkejut, karena tiba-tiba ikan tersebut berubah menjadi seorang wanita yang
sangat cantik. “Jangan takut Pak, aku tidak akan menyakiti
kamu”, kata si ikan. “Siapakah kamu ini? Bukankah kamu seekor ikan?, Tanya
petani itu. “Aku adalah seorang putri yang dikutuk, karena melanggar aturan
kerajaan”, jawab wanita itu. “Terimakasih engkau sudah membebaskan aku dari
kutukan itu, dan sebagai imbalannya aku bersedia kau jadikan istri”, kata
wanita itu. Petani itupun setuju. Maka jadilah mereka sebagai suami istri.
Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan
bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan
terjadi petaka dahsyat.
Setelah beberapa lama mereka menikah,
akhirnya kebahagiaan Petani dan istrinya bertambah, karena istri Petani
melahirkan seorang bayi laki-laki. Anak mereka tumbuh menjadi anak yang sangat
tampan dan kuat, tetapi ada kebiasaan yang membuat heran semua orang. Anak
tersebut selalu merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Semua jatah
makanan dilahapnya tanpa sisa.
Hingga suatu hari anak petani tersebut mendapat
tugas dari ibunya untuk mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana
ayahnya sedang bekerja. Tetapi tugasnya tidak dipenuhinya. Semua makanan yang
seharusnya untuk ayahnya dilahap habis, dan setelah itu dia tertidur di sebuah
gubug. Pak tani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar.
Karena tidak tahan menahan lapar, maka ia langsung pulang ke rumah. Di tengah
perjalanan pulang, pak tani melihat anaknya sedang tidur di gubug. Petani
tersebut langsung membangunkannya. “Hey, bangun!, teriak petani itu.
Setelah anaknya terbangun, petani itu langsung
menanyakan makanannya. “Mana makanan buat ayah?”, Tanya petani. “Sudah habis
kumakan”, jawab si anak. Dengan nada tinggi petani itu langsung memarahi
anaknya. "Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri! Dasar anak ikan!,"
umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan dari istrinya.
Setelah petani mengucapkan kata-kata tersebut,
seketika itu juga anak dan istrinya hilang lenyap tanpa bekas dan jejak. Dari
bekas injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras. Air meluap
sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk
sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba.
Keong Mas
Di
Kerajaan Daha, hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri nan
cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua putri Raja
tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga
suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari Kerajaan
Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden Inu Kertapati.
Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk melamar Candra Kirana.
Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut baik oleh Raja Kertamarta, dan
akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan Raden Inu Kertapati.
Pertunangan
itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Kerena dia merasa kalau Raden Inu
Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu Dewi Galuh lalu pergi ke
rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir itu menyihir Candra Kirana
menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan dari Raden Inu. Nenek Sihir pun
menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan menyihir Candra Kirana menjadi Keong
Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu
hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut
dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan ditaruh di
tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi tak mendapat
ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk pulang saja,
sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja sudah tersedia
masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya pada dirinya sendiri,
siapa yang mengirim masakan ini.
Begitu
pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya
nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi mencari ikan. Nenek
itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari ikan seperti biasanya, lalu
pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya. Setelah beberapa saat, si nenek
sangat terkejut. Karena keong emas yang ada ditempayan berubah wujud menjadi
gadis cantik. Gadis tersebut lalu memasak dan menyiapkan masakan tersebut di
meja. Karena merasa penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk
menegur putri nan cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana
asalmu?”, tanya si nenek. "Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir
menjadi keong emas oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri
kepadaku", kata keong emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra
Kirana berubah lagi menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara
pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang.
Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun
akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu
Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa
berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan
menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu
bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan.
Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung
gagak itu.
Kakek
itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap.
Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu
pergi ke desa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia di desa
Dadapan. Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air
karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu ia sangat terkejut, karena dari
balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang memasak. Akhirnya sihir dari
nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu. Akhirnya Raden Inu memboyong
tunangannya beserta nenek yang baik hati tersebut ke istana, dan Candra Kirana
menceritakan perbuatan Dewi Galuh pada Baginda Kertamarta.
Baginda
minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu mendapat
hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka dia melarikan diri
ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapati pun
berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya mereka hidup bahagia.
MALIN KUNDANG
Dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga di pesisir
pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama
Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah
malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.
Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti
ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli
keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak
kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.
Setelah Malin Kundang beranjak
dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan
nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya
raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal
dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.
Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak
belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih
berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.
Banyak pulau sudah
dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal
yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut.Semua barang dagangan para
pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak
kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut,
karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang
kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut,
hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan
sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari
pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di
desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa
tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan
kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang
kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya
lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting
seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya
melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal
serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui
anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat
ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang
sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut
oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan
orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin
Kundang. "Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa
mengirimkan kabar?", katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang
segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. "Wanita
tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku", kata Malin Kundang
pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan
ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. "Wanita itu
ibumu?", Tanya istri Malin Kundang. "Tidak, ia hanya seorang pengemis
yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku", sahut
Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh
anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak
durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya
sambil berkata
"Oh Tuhan, kalau
benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama
kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal
Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan
lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Timun Mas
Di
suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia
menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak.
Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada
suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan
mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana
kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi
ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah
kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu
mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah
mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak,
maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita
tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu,
dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat,
serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah
dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu
mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah
dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu
kemudian diberi nama Timun Mas.
Semakin
hari Timun Mas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali
karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat
karena bantuan Timun Mas.
Akhirnya
pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat
ketakutan, dan tidak mau kehilangan Timun Mas. Kemudian mbok Sarni berkata,
“Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka
semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah
mbok Sarni.
Waktu
dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari
akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni
sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam
mimpinya itu, ia diberitahu agar Timun Mas menemui petapa di Gunung.
Pagi
harinya mbok Sarni menyuruh Timun Mas untuk segera menemui petapa itu. Setelah
bertemu dengan petapa, Timun Mas kemudian bercerita tentang maksud
kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya
biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan
ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian Timun Mas
pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk
menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk
menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau
ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik
aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni
itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana Timun Mas?”, teriak si
raksasa.
Karena
tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka Timun Mas keluar dari tempat
sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak
Timun Mas.
Raksasa
pun mengejarnya, dan Timun Mas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun.
Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun
menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi
akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar Timun Mas lagi. Lalu
Timun Mas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlah
pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah
karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian
Timun Mas membuka kantong ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutan pun
menjadi lautan yang luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa.
Yang terakhir Timun Mas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah
lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya
raksasa pun mati.
Timun
Mas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa
yang kejam. Akhirnya Timun Mas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar dengan bijak